Sabtu, 20 April 2013


USAHA PENGOLAHAN DAUN PANDAN

NAMA: Rizqi Putri Winanti
NIM : 111201013
KELAS : HUT 4A

1.      Deskripsi Pelaku Usaha
Usaha pengolahan daun pandan menjadi tikar dan sumpit yang dilakukan oleh masyarakat lokal di Desa Juhar, kecamatan Tiga Binanga ini tidak dilakukan perorangan tetapi dilakukan oleh sekelompok orang dalam suatu kelompok masyarakat. Pengolahan ini sudah lama dilakukan, yang merupakan warisan dari orang tua mereka.
Kegiatan menganyam daun pandan, umunya dilakukan oleh kaum wanita. Kaum laki-laki hanya membantu pada saat pengambilan bahan baku dan memasarkan hasil anyaman keluar atau ke pasar.
Para pengrajin daun pandan di Desa Juhar, Kecamatan Tiga Binanga ini, biasanya hanya mengolah daun pandan untuk dijadikan tikar dan sumpit (kantung beras pada acara adat/pesta), serta pernah dibuat topi tetapi pemasarannya tidak memuaskan. Umumnya usaha ini dilakukan untuk keperluan sendiri, namun ada juga yang menjualnya ke pasar yang letaknya tidak jauh dari desa tersebut.

2.      Proses Produksi
Bahan baku yang diperoleh untuk pengolahan daun pandan ini oleh masyarakat lokal di Desa Juhar, Kecamatan Tiga Binanga ini didapat dari hutan adat yang mereka milki. Hanya sebagian kecil pengrajin yang membudidayakannya dalam skala kecil.
Kontinuitas bahan baku menjadi tidak terjamin, karena para pengrajin tidak membudidayakan daun pandan, dan pengambilan bahan baku di hutan adat dilakukan sesuai dengan kebutuhan dari setiap pengrajin itu sendiri.
Pengolahan daun pandan biasanya dilakukan oleh perempuan dengan teknik yang telah mereka kenal secara turun-temurun sebagai berikut :
1.        Pemanenan daun pandan
Pemanenan dilakukan pada daun yang sudah tua yang terletak pada bagian bawah. Daun yang tidak layak untuk dianyam juga ikut dipanen dengan tujuan untuk membersihkan rumpun pandan, sehingga pada panen berikutnya menghasilkan daun pandan yang berkualitas baik. Pemanenan dilakukan dengan memotong bagian bawah daun memakai pisau. Cara ini masih dianggap efektif dan efisien, karena pemanenan bersifat selektif hanya untuk daun yang sudah tua. Daun pandan yang sudah dipanen, langsung dipisahkan sesuai ukuran untuk memudahkan dalam penyortiran. Penyortiran perlu dilakukan karena produk anyaman ditentukan oleh ukuran panjang daun pandan.
2.        Pembuangan duri dan pembelahan daun pandan
Pembuangan duri perlu dilakukan secara hati-hati karena duri daun pandan cukup tajam. Pembuangan duri dilakukan untuk memudahkan proses penganyaman. Pembelahan dilakukan hampir seragam 0.5-0.7 cm karena produk anyaman yang akan dihasilkan berupa sumpit dan tikar memerlukan ukuran daun yang seragam. Pembelahan dilakukan sebaiknya pada saat daun masih segar untuk memudahkan pengerjaan dan menjaga kualitas daun.
3.        Pememaran daun pandan
Pememaran daun pandan bertujuan untuk memipihkan daun pandan sehingga lebih padat dan elastis saat dianyam. Pememaran daun pandan dilakukan dengan menumbuk daun pandan menggunakan alat tumbuk dari kayu.
4.        Perebusan daun pandan
Daun pandan direbus sekitar 30 menit atau sampai warna daun berubah menjadi kuning kecoklatan. Perebusan bertujuan untuk menjaga kondisi daun dan mengurangi kekakuan, secara kimia ini diduga dapat menghilangkan pati dan bahan larut air lainnya.
5.        Perendaman daun pandan
Daun pandan direndam selama 3-4 hari, biasanyan dilakukan di sungai atau di dalam bak/drum. Perendaman dilakukan untuk meningkatkan keawetan daun atau menghilangkan kandungan karbohidrat.
6.        Penjemuran
Sebelum dianyam daun pandan dikeringkan dengan cara dijemur selama 5-7 hari untuk memudahkan penganyaman dan mempertahankan ukuran selama pemakaian.

Sistem pemasaran dilakukan dengan menjual hasil anyaman ke passar kecamatan atau menunggu pembeli datang ke rumah pengrajin. Sistem pemasaran hasil anyaman daun pandan dibagi menjadi dua, yaitu:
1.        Pemasaran daun pandan
Daun pandan yang dipasarkan adalah yang siap dianyam, berupa daun pandan yang telah diolah dan dikeringkan. Penjualan daun dilakukan dalam bentuk ikatan. Satu ikat berisi 400-500 lembar dijual dengan harga Rp.12.000-Rp.15.000 tergantung panjang daun, sedangkan pembelian 3 ikat dapat ditawar dengan harga Rp.35.000-Rp40.000.
2.        Pemasaran produk anyaman
Produk anyaman yang biasa dipasarkan terutama berupa tikar selain itu juga, berupa sumpit dan topi. Satu ikat daun pandan kering dapat diolah menjadi tikar ukuran 2 x 1 m yang dapat dijual dengan harga Rp.45.000-Rp.60.000. sedangkan untuk tikar dengan ukuran 2 x 3 m memerlukan tiga ikat daun pandan kering yang dapat dijual dengan harga Rp.100.000-Rp.120.000. Nilai tambah yang diperoleh dari satu lembar tikar ukuran 2 x 1 m adalah sebesar Rp.33.000-Rp.45.000. Sedangkan untuk tikar dengan ukuran 2 x 3 m diperoleh nilai tambah sebesar Rp.65.000-Rp.80.000. Nilai tambah tersebut tidak termasuk biaya produksi karena tenaga kerja tidak dihitung (dikerjakan sendiri).
Kriteria hasil anyaman yang dianggap berkualitas nomor satu antara lain ialah kultivar daun pandan yang digunakan, ukuran helaian daun pandan, kerapatan menganyam dan motif. Semakin kecil ukuran helaian daun pandan dan semakin rapat menganyam serta bermotif menarik maka harga anyaman semakin mahal.

3.      Upaya yang dilakukan Pengusaha untuk Mengatasi Kendala Usaha
Dalam proses mengatasi kontinuitas bahan baku, para pengrajin di Desa Juhar sudah mulai melakukan pembudidayaan pandan duri                 (Pandanus tectorius) dalam skala kecil, di lahan yang berada di sekitar hutan adat tersebut.
Tetapi dalam kendala yang dihadapi seperti pemasaran yang kurang, teknologi yang dipakai masih sederhana dan produk yang dihasilkan kurang inovatif, para pengrajin tidak berbuat banyak untuk memperbaiki hal tersebut. Mungkin, hal disebabkan keterbatasan ekonomi, dan juga latar belakang pendidikan yang dimiliki oleh para pengrajin tersebut, karena cara pengolahan yang diketahui merupakan ilmu warisan atau diturunkan oleh para leluhur mereka.

4.      Rekomendasi Untuk Kendala Usaha
 Dalam proses usaha untuk mendapatkan hasil yang memuaskan, teknologi yang digunakan haruslah memadai, pada usaha pengolahan daun pandan di Desa Juhar ini teknologi yang dihasilkan masih sangat sederhana. Misalnya untuk melakukan proses penjemuran daun pandan yang memerlukan waktu 5-7 hari dengan menggunakan sinar matahari. Waktu yang diperlukan akan lebih lama jika cuaca kurang mendukung, sebaiknya untuk menghemat waktu penjemuran dan hasil yang didapatkan lebih maksimal digunakan oven untuk proses penjemuran sehingga tidak lagi bergantung pada sinar matahari apalagi akibat pemanasan global, cuaca cepat sekali berubah tanpa dapat diprediksi.
Selain teknologi, untuk menambah daya jual dan kualitas produk yang dihasilkan harus lebih inovatif dan dekoratif. Misalnya, selain tikar dan sumpit dapat juga dihasilkan tas dengan dekorasi yang indah dan warna-warna yang menarik, agar para pembeli atau pengunjung yang datang ke Desa Juhar dapat memiliki oleh-oleh khas dari desa tersebut.
Pemasaran produk yang selama ini dilakukan oleh pengrajin hanya menunggu pembeli yang datang ke Desa Juhar tersebut atau menjualnya ke pasar yang terletak tidak jauh dari desa, ini berarti menandakan yang menjadi pembeli hanya orang sekitar. Untuk memperluas jaringan, setidaknya para pengrajin bekerjasama dengan seseorang yang tinggal di kota atau membuat koperasi pengrajin itu sendiri untuk membuat toko agar produk yang mereka hasilkan dapat bernilai jual tinggi dan terkenal.



Besarnya Potensi Tanaman Jati Sebagai Salah Satu Agribisnis Tanaman Kehutanan
Oleh : Sehat Martua Pasaribu
Nim : 111201015

Deskripsi Jati
Jati adalah sejenis pohon penghasil kayu bermutu tinggi. Pohon besar, berbatang lurus, dapat tumbuh mencapai tinggi 30-40 m. Berdaun besar, yang luruh di musim kemarau. Jati dikenal dunia dengan nama teak (bahasa Inggris). Nama ini berasal dari kata thekku dalam bahasa Malayalam, bahasa di negara bagian Kerala di India selatan. Nama ilmiah jati adalah Tectona grandis L.f. Jati dapat tumbuh di daerah dengan curah hujan 1 500 – 2 000 mm/tahun dan suhu 27 – 36 °C baik di dataran rendah maupun dataran tinggi. Tempat yang paling baik untuk pertumbuhan jati adalah tanah dengan pH 4.5 – 7 dan tidak dibanjiri dengan air. Jati memiliki daun berbentuk elips yang lebar dan dapat mencapai 30 – 60 cm saat dewasa.                              
Jati memiliki pertumbuhan yang lambat dengan germinasi rendah (biasanya kurang dari 50%) yang membuat proses propagasi secara alami menjadi sulit sehingga tidak cukup untuk menutupi permintaan atas kayu jati. Jati biasanya diproduksi secara konvensional dengan menggunakan biji. Akan tetapi produksi bibit dengan jumlah besar dalam waktu tertentu menjadi terbatas karena adanya lapisan luar biji yang keras.Beberapa alternatif telah dilakukan untuk mengatasi lapisan ini seperti merendam biji dalam air, memanaskan biji dengan api kecil atapasir panas, serta menambahkan asam, basa, atau bakteri.  Akan tetapi alternatif tersebut masih belum optimal untuk menghasilkan jati dalam waktu yang cepat dan jumlah yang banyak.

Potensi harga kayu jati
Biasanya tergantung pada ukuran kayu jati tersebut
  • Harga Kayu Jati Olahan Terbaru untuk ukuran papan lebar >20 cm   –>> Rp 2 juta/M³.
  • Harga Kayu Jati Olahan Terbaru untuk ukuran papan lebar 16 – 18 c –>> Rp 1,7 juta/M³.
  • Harga Kayu Jati Olahan Terbaru untuk ukuran papan lebar < 15 cm / palet –>> Rp 800 ribu/M³.

* Harga Kayu Jati Olahan Terbaru tersebut adalah kesepakatan sipembeli mengolah sendiri, dengan ketentuan harus membuatkan saya terlebih dahulu ukuran kayu papan dengan ketebalan 4 cm sebanyak 2 M³ untuk kebutuhan kusen daun pintu dan jedela rumah impian.
Harga Kayu Jati Olahan Terbaru kayu jati tersebut sebenarnya masih bisa ditingkatkan lagi kalau saya bernegosisasi lebih, karena pengalaman sebelumnya saya menjualnya lebih mahal dari daftar diatas. Harga Kayu Jati Olahan Terbaru biasanya tergantung dari ukurannya, semakin besar ukuran kayu jati maka Harga Kayu Jati Olahan Terbaru akan semakin tinggi per kubikasinya. Kenapa segera saya sepakati tawaran sang pembeli itu lebih dikarenakan si pembeli mau dan dengan senang hati akan memprioritaskan kebutuhan saya terlebih dahulu dan sisanya baru yang akan dibuat bahan dagangan.
Harga Kayu Jati Olahan Terbaru biasanya berbeda-beda disetiap daerah itu juga tergantung dari lokasi dimana kebun kayu jati itu berada. Proses untuk menjadikan kayu jati jadi bahan tidak mudah jika letak pohon jati berada dilereng gunung seperti pohon jati saya. Biaya operasional yang harus dikeluarkan untuk operasional awal adalah :
  • Upah pekerja tebang potong                —>> Rp 250.000 /1 mobil truk.
  • Upah pekerja mengangkut ke mobil      —>> Rp 625.000/ 1 mobil truk.
  • Upah Mobil pengangkut                        —>> Rp 200.000/ 1 mobil truk.
  • Upah Serkel/Gergaji Mesin                     —>>  Rp 180.000/ 1 M³.

Kelebihan Investasi Pohon Jati
Selain harga kayu jati yang mahal adalah proses perawatan yang mudah dan ketahan kayu terhadap hama dan berbagai cuaca. Dahulu waktu saya ingin menanami ladang bapak saya dengan pepohonan, awalnya saya tertarik dengan Pohon Sengon karena pohon tersebut cepat pertumbuhannya, dari masa tanam hanya memerlukan waktu kisaran 5-7 tahun untuk dapat dipanen, dengan rata-rata mempunyai diameter di atas 50 cm. Tetapi, karena pertimbangan letak lokasi dilereng gunung yang mempunyai kemiringan sekitar 15 derajat dan disebelah kanan – kiri serta atas lokasi adalah kebun kopi robusta yang kurang terawat sehingga banyak ditumbuhi semak belukar sehingga jika musim kemarau rawan terjadi kebakaran. Pohon Sengon tidak tahan terhadap api kebalikan dari pohon jati itu lah salah satu Kelebihan Investasi Pohon Jati.
Kelebihan Investasi Pohon Jati yang paling menonjol serta mempunyai nilai ekonomis yang tinggi adalah kekuatan atau ketahanan dan keindahan serat yang dihasilkan menyebabkan kayu jati menjadi bahan baku utama untuk membuat perabotan rumah tangga yang mengisi dan menghiasi rumah kita, sehingga kayu jati mempunyai harga yang cukup mahal

RESUME AGRIBISNIS DALAM BIDANG KEHUTANAN (Mendulang Untung dari Investasi di Pohon Jati )


SAHRONI LUBIS
111201007
HUT 4-A


Jati Putih (Gmelina arborea Roxb) adalah salah satu jenis pohon dari famili Verbenaceae yang satu famili dengan Jati (Tectona grandis). Pohon ini berasal dari negeri, Nepal, India, Pakistan, Bangladesh, Srilangka, Myanmar, Thailand, laos, Kamboja, Vietnam dan Cina Selatan.
Beberapa sifat fisik dan kimia kayu Jati Putih adalah warna kayu yang pucat dan bervariasi dari kuning jerami sampai dengan putih krem dan dapat berubah menjadi coklat merah, tidak ada perbedaan warna antara kayu teras dan gubal. Kayu mudah digergaji dan diserut dengan hasil licin dan mengkilap, serat agak berpadu bervariasi dari lurus sampai ikal, jumlah serat dalam kayu 64,2% tekstur agak besar, kelas kuat III
Jati mas, jati super, jati pusaka, jati unggul dan lain-lain nama, sebenarnya merupakan produk yang sama. Jati (Tectona grandis) adalah tumbuhan penghasil kayu dengan kualitas terbaik di dunia. Tumbuhan ini sebenarnya berasal dari India. Masuk ke Indonesia diperkirakan pada zaman pra Hindu. Pada waktu itu, kapal-kapal dagang Hindu sudah mulai masuk ke kepulauan Nusantara untuk mencari kayu cendana, gaharu, kemenyan, pala, cengkeh, lada dan kelapa. Kapal-kapal yang terserang badai dan patah tiang layarnya, setelah berlabuh di pesisir utara pulau Jawa segera mencari kayu pengganti tiang yang patah. Tetapi tidak ada kayu yang kualitasnya sama dengan tiang layar mereka. Sebab tiang layar kapal-kapal Hindu tadi terbuat dari kayu jati. Sejak itulah diupayakan untuk mengintroduksi tanaman jati ke pulau Jawa, agar perahu-perahu Hindu yang rusak tiang layarnya tidak mengalami kesulitan untuk melakukan perbaikan. Pertama-tama, tanaman jati dibudidayakan di kawasan Rembang dan Blora. Baru kemudian meluas ke kawasan-kawasan lainnya. Ketika kerajaan-kerajaan Hindu mengalami masa kejayaannya, budidaya tanaman jati ini tetap dilanjutkan. Tetapi dinasti yang memerintah kerajaan Jawa berganti-ganti. Ibukotanya juga berpindah-pindah dari Jawa Tengah ke Jawa Timur dan kembali ke Jawa Tengah lagi. Sejak itulah komoditas jati tidak terurus hingga menjadi tumbuhan liar di hutan-hutan di pulau Jawa.
Ketika bangsa Belanda dan juga Inggris menguasai pulau Jawa, budidaya tanaman jati kembali dilakukan secara serius. Penanaman jati menjadi monopoli pemerintah. Saat ini pengelola hutan jati di pulau Jawa adalah PT. Perhutani. Sebuah BUMN yang mengelola hutan di seluruh pulau Jawa, kecuali hutan di Ujung Kulon, gunung Halimun, Gede – Pangrango, Kep. Seribu, Bromo – Tengger – Semeru, Meru Betiri, Alas Purwo dan Baluran yang berstatus Taman Nasional. Usia panen tanaman jati berkisar antara 50 tahun sampai 80 tahun. Hingga kayu jati yang dipanen PT. Perhutani sekarang-sekarang ini, merupakan tanaman tahun 1920-an sampai tahun 1950-an. Berarti kayu jati hasil panen sekarang ini, masih lebih banyak yang merupakan tanaman (warisan) pemerintah kolonial Hindia Belanda daripada yang kita tanam sendiri. Mengingat usianya yang sampai puluhan tahun, petani maupun investor kurang begitu tertarik untuk menanam jati. Hingga ketika terbetik kabar tentang adanya varietas tanaman jati yang sudah bisa dipanen sejak umut 10 tahun (penjarangan) kemudian dipanen habis pada umur 15 tahun, masyarakat pun menyambutnya dengan sangat antusias. Jati-jati genjah demikian disebut sebagai jati mas, jati super, jati pusaka, jati unggul dan lain-lain.
Bayangan masyarakat awam terhadap jati super adalah, pada umur 15 tahun diameter tanaman sudah bisa menyamai jati biasa yang berumur 50 tahun sampai 80 tahun. Dugaan ini tentu saja keliru. Diameter jati super umur 15 tahun, masih sama dengan diameter kayu jati biasa pada umur yang sama, yakni hanya sekitar 15 cm. Dengan asumsi, pertumbuhan diameter kayu jati, tiap tahunnya sebesar 1 cm. Sebenarnya, jati biasa tanaman PT. Perhutani pun pada umur 10 tahun sudah mulai dipanen untuk penjarangan tanaman. Hasilnya adalah kayu-kayu jati berdiameter 10 cm, yang penampilan fisiknya jelek. Hingga sebenarnya, kelebihan jati super dan lain-lain tersebut bukan pada umur panennya, melainkan pada jenis kayu yang dihasilkannya. Kriteria utama kayu jati, adalah pada jenisnya, yakni vinir dan hara. Vinir adalah kayu jati yang seratnya sangat halus hingga mudah sekali disayat. Kayu jenis ini akan diserap oleh industri furniture kelas tinggi atau untuk bahan pelapis. Sementara jenis hara akan diserap oleh industri furniture biasa. Kayu jenis ini berserat kasar dan banyak mata bekas tumbuhnya cabang. Kelebihan jati super adalah, kayu yang dihasilkannya merupakan jenis vinir yang harganya lebih tinggi dari jati biasa yang lebih banyak menghasilkan kayu hara.
Baik jenis vinir maupun hara, masih pula dibedakan menjadi beberapa katagori mutu. Mulai dari mutu utama (terbaik), standar pertama, kedua dan seterusnya sampai dengan mutu kelima. Masing-masing mutu tentu memiliki nilai harga yang berlainan. Berikutnya, harga kayu jati juga akan ditentukan oleh diameter dan panjang gelondongan. Harga kayu vinir mutu utama berdiameter 15 cm, pasti lebih murah jika dibanding dengan kayu yang sama dengan diameter 30 cm atau 50 cm, misalnya. Sebab kayu sisa yang terbuang pada 1 m3 kayu berdiameter 50 cm, lebih sedikit dibanding 1 m3 kayu dengan kualitas sama yang diameternya 15 cm. Selain faktor diameter, yang juga ikut menentukan harga kayu jati adalah panjang gelondongan. Kayu dengan kualitas dan diameter sama namun dengan panjang gelondongan berbeda, harganya pun akan berbeda pula. Jadi, meskipun lebih banyak menghasilkan jenis vinir, harga gelondongan jati super yang dipanen pada umur 15 tahun belum tentu lebih mahal jika dibanding dengan jenis hara yang dipanen pada umur 60 tahun atau 80 tahun dengan diameter 50 cm dan 80 cm. Hal demikian inilah yang selama ini tidak diketahui oleh para petani atau calon investor kita.
Sebenarnya sejak awal abad 20, pemerintah kolonial Belanda sudah mengimpikan adanya klon tanaman jati yang tidak menghasilkan cabang. Tumbuhnya lurus dengan serat kayu yang halus. Klon-klon ini setelah diseleksi lalu diperbanyak secara vegetatif dengan okulasi. Tetapi cara ini terlalu mahal untuk diterapkan pada jati. Keadaan baru berubah ketika ditemukan teknologi perbanyakan vegetatif dengan kultur jaringan. Dengan cara ini perbanyakan vegetatif bisa dilakukan dengan massal dan biaya murah. Klon tanaman jati yang tidak menghasilkan cabang itulah yang secara selektif diteliti dan diperbanyak oleh Balitbang Dep. Kehutanan dan Perum Perhutani. Hasilnya tentu saja hanya diperuntukkan bagi kepentingan intern Perum Perhutani. Dewasa ini PT. Perhutani telah memiliki sekitar 30 klon jati unggul. Tetapi di Thailand dan Malaysia, upaya serupa dilakukan oleh pihak swasta. Hasilnya dipromosikan ke masyarakat luas hingga sampai ke Indonesia. Pihak swasta Indonesia pun menanggapinya dengan sangat antusias. Klon-klon jati tanpa cabang dengan serat halus ini pun diperbanyak dengan kultur jaringan. Harga bibit jati super seperti ini berkisar antara Rp 4.000,- sampai dengan Rp 20.000,- per tanaman dengan ketinggian sekitar 50 cm. Variasi harga yang sangat tinggi ini disebabkan oleh banyak faktor. Terutama oleh perbedaan upah tenaga kerja dan volume bibit yang dihasilkannya. Semakin banyak volume bibit yang dihasilkan, harga satuannya akan semakin murah.
Karena kelebihan utama jati unggul ini terletak pada kualitas kayunya, maka promosi mengenai pendeknya jangka waktu panen sebenarnya sangat tidak relevan. Sebab ketuaan umur panen, juga akan menghasilkan diameter kayu yang makin besar dan hal ini juga akan berpengaruh pada tinggi rendahnya harga. Yang lebih pas dipromosikan pada jati unggul ini adalah kualitas kayu yang akan dihasilkannya. Hingga usia panennya boleh 15 tahun, 30 tahun, 50 tahun atau malahan 100 tahun. Semakin tua umur tanaman, semakin tinggi harga kayu yang dihasilkannya, karena diameternya akan terus bertambah. Pengertian ini penting dikemukakan karena variasi harga kayu jati resmi (bukan kayu Sepanyol = Separo Nyolong) berkisar antara Rp 1.500.000,- yang terendah sampai Rp 8.000.000,- yang tertinggi per m3 gelondongan. Variasi harga ini selain ditentukan oleh jenis kayu dan kualitasnya, juga oleh diameter gelondongannya. Informasi tentang jenis jati unggul yang bisa dipanen pada usia 15 tahun sebenarnya sangat menyesatkan karena diameter kayunya masih sekitar 15 cm. Nilai kayu dengan diameter demikian, bagaimana pun juga, tetap lebih rendah jika dibandingkan dengan kayu dengan kualitas yang lebih rendah, namun dengan diameter yang lebih besar.
Dengan harga bibit rata-rata Rp 8.000,- per batang, dengan populasi tanaman per hektar 1.000 pohon (jarak tanam 3 x 3 m), maka keperluan bibit untuk tiap hektar lahan Rp 8.000.000,-. Biaya olah tanah dan penanaman sekitar Rp 2.000.000,-. Hingga modal penanaman jati unggul dengan jarak tanam rapat adalah Rp 10.000.000,- per hektar. Dengan kapasitas kerja 1 orang untuk tiap 5 hektar lahan, dengan upah harian Rp 10.000,- per hari; maka upah kontrol untuk tiap hektar lahan selama 15 tahun adalah Rp 18.000.000,-. Ditambah dengan biaya lain-lain seperti pupuk, biaya tersebut bisa mencapai Rp 30.000.000,-. Hingga total beban investasi dan amortisasi selama 15 tahun adalah Rp 40.000.000,-. Asumsi hasil kayu setelah 15 tahun sekitar 100 m3 dengan harga terendah Rp 1.500.000,- per m3, maka pendapatan kotor per hektar lahan jati unggul setelah 15 tahun adalah Rp 150.000.000,-. Kalau harga kayu bisa mencapai Rp 3.000.000,- per m3 maka pendapatan kotornya akan menjadi Rp 300.000.000,-. Pendapatan ini cukup menarik untuk lahan-lahan marjinal yang memang tidak mungkin ditanami komoditas lain. Tetapi untuk lahan-lahan subur pendapatan kotor Rp 30.000.000,- per 15 tahun atau Rp 20.000.000,- per tahun masih belum begitu menarik. Sebab masih banyak komoditas yang bisa mendatangkan pendapatan kotor beberapa kali lipat dibandingkan dengan jati unggul. Komoditas buah-buahan pada umumnya mampu mendatangkan pendapatan yang jauh lebih tinggi dibanding jati.
Kayu jati memiliki banyak keunggulan dibanding dengan jenis-jenis kayu lainnya karena beberapa hal. Pertama, kelas keawetannya yang tinggi. Keawetan jati, antara lain disebabkan oleh adanya minyak asiri yang disebut teak oil dalam jaringan kayunya. Tingkat kekuatan kayu ini juga tergolong tinggi. Kelas keawetan dan kekuatan jati hanya tertandingi oleh sono keling, ebony, ulin dan beberapa kayu keras lainnya. Tetapi, tingkat kekerasan jati hanya tergolong sedang. Namun justru tingkat kekerasan yang sedang ini akan memudahkan proses pengerjaannya untuk bahan bangunan maupun furniture. Selain kelas keawetan, kekuatan dan kekerasannya yang baik, jati juga masih memiliki keunggulan pada keindahan serta kehalusan tekstur seratnya. Selain warna kayunya yang coklat alami. Kebutuhan kayu jati pada tahun-tahun mendatang akan semakin besar. Sebab kayu-kayu rimba tropis akan semakin terbatas volumenya yang bisa dieksplorasi. Sementara kayu budidaya lainnya seperti mahoni, pinus dan albisia, kelasnya masih berada di bawah jati. Hingga permintaan kayu jati akan tetap lebih baik dibanding dengan kayu-kayu tadi. Meskipun penanaman jati sudah meluas sampai ke Afrika, namun untuk saat ini pulau Jawa masih merupakan sentra hutan jati utama di dunia.
Jati-jati unggul yang sekarang ini digandrungi masyarakat, sebenarnya hanyalah salah satu alternatif komoditas. Bukan merupakan komoditas hebat yang akan mendatangkan keuntungan luar biasa. Asumsi masyarakat awam bahwa jati super ketika dipanen pada umur 15 tahun akan menghasilkan volume kayu sama dengan jati biasa pada umur 50 tahun jelas perlu diluruskan. Dewasa ini masih banyak penjual bibit jati unggul yang memasarkan produk mereka dengan harga Rp 15.000,- sampai Rp 20.000,- per tanaman. Harga itu tentu terlalu tinggi sebab bibit pisang kultur jaringan bisa diperoleh dengan harga di bawah Rp 5.000,- per tanaman. Mestinya, jati yang penanganan aklimatisasinya tidak serumit pisang bisa berharga lebih murah minimal sama dengan pisang. Dan kenyataannya, ada juga penangkar jati unggul yang bisa melepas produk mereka dengan harga Rp 4.000,- per tanaman.





Tanaman jati merupakan tanaman kehutanan yang pada umumnya tumbuh di daerah Jawa dan di sekitar  Sumatera Utara. Meskipun penanaman jati sudah meluas sampai ke Afrika untuk tingkat global, namun untuk saat ini pulau Jawa masih merupakan sentra hutan jati utama di dunia. Pertumbuhan pohon ini sangat baik terutama di daerah Jawa Barat karena curah hujan di Jawa Barat yang begitu relatif rendah sehingga lebih bagus untuk pertumbuhan pohon jati. Hal ini di buktikan dengan adanya bagunan-bangunan pada zaman pra hindu yang banyak di bangun dari kayu jati. Tetapi dinasti yang memerintah kerajaan Jawa berganti-ganti. Ibukotanya juga berpindah-pindah dari Jawa Tengah ke Jawa Timur dan kembali ke Jawa Tengah lagi. Sejak itulah komoditas jati tidak terurus hingga menjadi tumbuhan liar di hutan-hutan di pulau Jawa.
Kayu jati memiliki banyak kelebihan dibanding dengan jenis-jenis kayu lainnya. Kelebihan tersebut disebabkan oleh beberapa hal seperti kelas keawetan kayu jati yang tinggi. Keawetan jati, antara lain disebabkan oleh adanya kandungan minyak atsiri yang ada dalam jaringan kayunya. Oleh karena itu tingkat kekuatan kayu ini juga tergolong tinggi. Kelas keawetan dan kekuatan jati hanya tertandingi oleh sono keling, ebony, ulin dan beberapa kayu keras lainnya. Tetapi, tingkat kekerasan jati hanya tergolong sedang. Namun justru tingkat kekerasan yang sedang ini akan memudahkan proses pengerjaannya untuk bahan bangunan maupun furniture. Selain kelas keawetan, kekuatan dan kekerasannya yang baik, jati juga masih memiliki keunggulan pada keindahan serta kehalusan tekstur seratnya. Selain warna kayunya yang coklat alami. Kebutuhan kayu jati pada tahun-tahun mendatang akan semakin besar. Sebab kayu-kayu rimba tropis akan semakin terbatas volumenya yang bisa dieksplorasi. Sementara kayu budidaya lainnya seperti mahoni, pinus dan albisia, kelasnya masih berada di bawah jati. Hingga permintaan kayu jati akan tetap lebih baik dibanding dengan kayu-kayu tadi.
Pengelolaan hutan jati banyak tanganai perhutanai di daerah pulau jawa karna hasilnya yang sangat menguntungkan bagi setiap masyarakat, walaupaun waktu panennya yang relative lama yaitu usia panen tanaman jati berkisar antara 50 tahun sampai 80 tahun. Hingga kayu jati yang dipanen, namun di balik itu Bayangan masyarakat awam terhadap jati super adalah, pada umur 15 tahun diameter tanaman sudah bisa menyamai jati biasa yang berumur 50 tahun sampai 80 tahun.
Harga olahan kayu jati di pasran sangat bersaing di banding kayu-kayu kehutanan lainnya, seprti yang sudah dijalan kan oleh  PT. Perhutani yang ada di pulau jawa dengan variasi harga Dengan harga bibit rata-rata Rp 8.000,- per batang, dengan populasi tanaman per hektar 1.000 pohon (jarak tanam 3 x 3 m), maka keperluan bibit untuk tiap hektar lahan Rp 8.000.000,-. Biaya olah tanah dan penanaman sekitar Rp 2.000.000,-. Hingga modal penanaman jati unggul dengan jarak tanam rapat adalah Rp 10.000.000,- per hektar. Dengan kapasitas kerja 1 orang untuk tiap 5 hektar lahan, dengan upah harian Rp 10.000,- per hari; maka upah kontrol untuk tiap hektar lahan selama 15 tahun adalah Rp 18.000.000,-. Ditambah dengan biaya lain-lain seperti pupuk, biaya tersebut bisa mencapai Rp 30.000.000,-. Hingga total beban investasi dan amortisasi selama 15 tahun adalah Rp 40.000.000,-. Asumsi hasil kayu setelah 15 tahun sekitar 100 m3 dengan harga terendah Rp 1.500.000,- per m3, maka pendapatan kotor per hektar lahan jati unggul setelah 15 tahun adalah Rp 150.000.000,-. Kalau harga kayu bisa mencapai Rp 3.000.000,- per m3 maka pendapatan kotornya akan menjadi Rp 300.000.000,-. Pendapatan ini cukup menarik untuk lahan-lahan marjinal yang memang tidak mungkin ditanami komoditas lain. Tetapi untuk lahan-lahan subur pendapatan kotor Rp 30.000.000,- per 15 tahun atau Rp 20.000.000,- per tahun masih belum begitu menarik.
Banyak olahan-olahan mebel yang dihasilkan dari kayu jati yang sanagt di minati masyarakat local maupun masyarakat internasional karna tekstur, warna, keawetan dan keindahan sifat makroskopis dari hasil olahan kayu jati beberapa olahan yang dihasilkan dari kayu jati misalnya meja, kursi, lemari, guci dll. Sehingga sangat banyak perajin kayu local yang memanfaatkan kayu jati sebagai bahan baku untuk di olah menjadi bahan olahan mebel.




DAFTAR PUSTAKA

Lauridsen, E.B. 1986. Seed leaflet No 6. June 1986. Gmelina arborea, Linn. Danida         Forest Seed Centre- Humlebaek, Denmark.

Soerianegara, I. & R.H.M.J. Lemmens (eds), 1994. Timber trees : Major Commercial         Timbers. Plant resources of South - East Asia No. 5 (1) PROSEA Foundation,           Bogor. Indonesia.



RESUME AGRIBISNIS TANAMAN GAHARU
NAMA  : RIZKI KHADIJAH HARAHAP
NIM       : 111201016
HUT       : 4-A

            Gaharu adalah sejenis kayu dengan berbagai bentuk dan warna yang khas, memiliki kandungan damar wangi, berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu, sebagai akibat dari proses infeksi yang terjadi secara alami atau buatan pada pohon Aguilaria sp (Thymelaeaceae).
GAHARU merupakan Komoditi Elit, Langka & Bernilai Ekonomi Tinggi
Gaharu merupakan produk ekspor. Tujuan ekspor adalah negara-negara di Uni Emirat Arab, Arab Saudi, Singapore, Taiwan, Jepang, Malaysia.
Pohon Gaharu (Aquilaria spp.) adalah species asli Indonesia. Beberapa species gaharu komersial yang sudah mulai dibudidayakan adalah: Aquilaria. malaccensis, A. microcarpa, A. beccariana, A. hirta, A. filaria, dan Gyrinops verstegii. serta A. crassna asal Camboja.
Gaharu merupakan kebutuhan pokok bagi masyarakat di negara-negara Timur Tengah yang digunakan sebagai dupa untuk ritual keagamaan. Masyarakat di Asia Timur juga menggunakannya sebagai hio. Minyak gaharu merupakan bahan baku yang sangat mahal dan terkenal untuk industri kosmetika seperti parfum, sabun, lotions, pembersih muka serta obat-obatan seperti obat hepatitis, liver, antialergi, obat batuk, penenang sakit perut, rhematik, malaria, asma, TBC, kanker, tonikum, dan aroma terapi.
Pengelompokan
 gaharu:
1) Abu gaharu: Super, kemedangan A, Kacang, kemedangan TGC;
2) Kemedangan A, B, C, TGC , (BC), Kemedangan Putih,Teri Kacang (terapung); dan
3) Gubal gaharu tdr dari: Double Super, Super A, Super B, Kacang, Teri A, Teri B, dan dan Sabah (tenggelam).
Gaharu memiliki nilai harga mulai dari 100.000 – 30 juta/kg tergantung asal species pohon dan kualitas gaharu.
Sedangkan minyak gaharu umumnya disuling dari gaharu kelas rendah (kemedangan) memiliki harga mulai dari 50.000-100.000/ml.
Sebanyak 2000 ton/tahun gaharu memenuhi pusat perdagangan gaharu di Singapura. Gaharu tersebut 70% berasal dari Indonesia dan 30% dari negara-negara Asia Tenggara lainnya. Hutan alam sudah tidak mampu lagi menyediakan gaharu. Gaharu hasil budidaya merupakan alternatif pilihan untuk mendukung kebutuhan masyarakat dunia secara berkelanjutan.
Jika satu pohon gaharu hasil budidaya menghasilkan 10 kg gaharu (semua kelas), maka diperlukan pemanenan 200.000 pohon setiap tahun.
Karena banyaknya jenis tumbuhan ini ada di Indonesia, maka bukan barang aneh, bila kemudian tumbuhan ini juga banyak dimanfaatkan masyarakat. Manfaatn gaharu  antara lain sebagai bahan pembuat  obat dan parfum.
http://kebungaharu.com/content/uploads/2011/01/slide_6-300x111.jpg

Gaharu sangat di butuhkan di Negara Islam dan Arab, Wangi Parfum , Wanginya Tahan Lama, Aroma Terapi Menyegarkan Tubuh, Perayaan dan Undangan, Kecantikan – Sabun, Shampo Yang Harum Semerbak, Obat & Kesehatan – Biasa Digunakan di Pengobatan Tradisional Khususnya Dinegara China dan Jepang, Koleksi Pribadi – Untuk Ruangan Besar Khusus Eksklusif. Harga 1 Batang Pohon Agarwood bisa mencapai ribu-an dollar per kilo nya. Setelah Penyulingan Menjadi Minyak Harga Bisa Mencapai Sekitar USD 5,000 ~ USD 10,000/kg dan Setelah Dibuat Menjadi Cairan Extract Harganya Mampu Mencapai Lebih Dari USD 30,000 atau Rp. 300.000.000,- / Liter.
Manfaat gaharu:
1.    Aktivitas Kebudayaan – Islam, Budha, Hindu
2.    Perayaan Keagamaan – Kebanyakan di Negara Islam dan Arab
3.    Wangi Parfum – Wanginya Tahan Lama Banyak Diminati di Negara Eropa Seperti Daerah Yves Saint Laurent, Zeenat dan Amourage
4.    Aroma Terapi – Menyegarkan Tubuh, Perayaan dan Undangan
5.    Obat & Kesehatan – Biasa Digunakan di Pengobatan Tradisional Khususnya Dinegara China dan Jepang
6.    Koleksi Pribadi – Untuk Ruangan Besar Khusus Eksklusif
7.    Kecantikan – Sabun, Shampo Yang Harum Semerbak
Gaharu dikenal berasal dari marga tumbuhan bernama Aquilaria. Di Indonesia tumbuh berbagai macam spesiesnya, seperti A. malaccensis, A. microcarpa, A. hirta, A. beccariana, dan A. Filaria.
Karena banyaknya jenis tumbuhan ini ada di Indonesia, maka bukan barang aneh, bila kemudian tumbuhan ini juga banyak dimanfaatkan masyarakat. Salah satu manfaatnya merupakan fungsi flora ini         sebagai obat.
Meningkatnya penggunaan obat-obatan dari bahan organik seperti tumbuhan (herbal), membuat gaharu semakin diminati sebagai bahan baku obat-obatan untuk berbagai macam penyakit.
Dari hasil penelitian yang ada, gaharu dikenal mampu mengobati penyakit seperti stres, asma, liver, ginjal, radang lambung, radang usus, rhematik, tumor dan kanker.
Kini pengunaan gaharu sebagai obat terus meningkat. Tapi sayangnya hingga kini, Indonesia baru mampu memasok 15 persen total kebutuhan gaharu dunia.
Bahkan kini fungsi gaharu juga merambah untuk bahan berbagai produk kecantikan dan perawatan tubuh. Sebagai kosmetik gaharu bisa dijual seharga Rp 2-5 juta per kilogram, bahkan untuk jenis super dan dobel super harganya mencapai Rp18 juta per kilogram. Di Indonesia tanaman ini dikelompokan sebagai produk komoditi hasil hutan bukan kayu.
Atas dasar itu, pengembangan gaharu sangat mendukung program pelestarian hutan yang digalakkan pemerintah. Investasi dibidang gaharu sendiri sebenarnya sangat menguntungkan. Gaharu bisa dipanen pada usia 5-7 tahun.

http://kebungaharu.com/content/uploads/2011/01/gaharu-tea-225x300.jpg

Salah satu hasil olahan dari daun pohon Gaharu
yang banyak sekali khasiat dan kegunaannya
Untuk satu hektare gaharu hingga bisa dipanen, memerlukan biaya sebesar Rp 125 juta namun hasil panen yang didapat mencapai puluhan kali lipat. Budi daya gaharu sangat cocok dikembangkan dalam meningkatkan hasil hutan non kayu, sementara pasarnya sangat luas dan tidak terbatas. (ant/slg) (sumber:sinar harapan).
Imam Bukhari meriwayatkan bahawa Nabi Mohammad SAW bersabda: Obatilah dengan menggunakan Oudh (gaharu) kerana didalamnya terdapat tujuh kebaikan.
Minyak gaharu juga memang terkenal sebagai antara ekstrak minyak paling mahal didunia hingga mencapai $20,000 dolar Amerika satu kilogram. Kegunaan perobatan maupun upacara kebesaran dalam Ayurvedik, Sufi, Cina, Tibet, Arab dan Yunani banyak menggunakan bahan daripada gaharu untuk tujuan yang sama.
·         Meningkatkan fungsi seksual dan merawat masalah yang berkaitan
·         Melegakan dan merawat sistem pernafasan – bagi penderita lelah, letih dan batuk dan kronik
·         Merawat kanker tumor dan kanker paru-paru
·         Melegakan insomnia (susah tidur) dan tidur yang kurang pulas
·         Mengontrol kandungan gula dalam darah bagi penderita diabetes
·         Merawat sistem limfa – sistem pertahanan badan
·         Mengawal dan menstabilkan tekanan darah tinggi
·         Mengurangi masalah sembelit, angin, cirit-birit dan IBS (perut sensitif)
·         Merawat masalah Ginjal
·         Tonik untuk menguatkan fungsi jantung
·         Merawat penyakit hati
GAHARU: HHBK yang Menjadi Primadona
Gaharu merupakan salah satu komoditi hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang cukup dapat diandalkan, khususnya apabila ditinjau dari harganya yang sangat istimewa bila dibandingkan dengan HHBK lainnya.  Nilai jual yang tinggi dari gaharu ini mendorong masyarakat untuk memanfaatkannya.  Sebagai contoh, pada awal tahun 2001, di Kalimantan Timur tepatnya di Pujangan (Kayan) harga gaharu dapat mencapai Rp. 600.000,- per kilogram .  Pada tingkat eceran di kota-kota besar harga ini tentunya akan semakin tinggi pula.  Kontribusi gaharu terhadap perolehan devisa juga menunjukkan grafik yang terus meningkat. Menurut Balai Pusat Statistik, rata-rata nilai ekspor gaharu dari Indonesia tahun 1990-1998 adalah sebesar US $ 2 juta, dan pada tahun 2000 meningkat menjadi US $ 2.2 juta.
Gaharu dikenal karena memiliki aroma yang khas dan dapat digunakan untuk berbagai keperluan seperti parfum, pewangi ruangan, hio (pelengkap sembahyang pemeluk agama Budha & Kong Hu Cu), obat, dan sebagainya.
Masyarakat awam seringkali mengaburkan istilah gaharu dengan pohon gaharu.  Menurut SNI 01-5009.1-1999 gaharu didefinisikan sebagai sejenis kayu dengan berbagai bentuk dan warna yang khas, serta memiliki kandungan kadar damar wangi yang berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu yang tumbuh secara alami dan telah mati sebagai akibat dari suatu proses infeksi yang terjadi baik secara alami atau buatan pada suatu jenis pohon, yang pada umumnya terjadi pada pohon Aquilaria sp. (Nama daerah: Karas, Alim, Garu dan lain-lain).
Gaharu diperdagangkan dalam berbagai bentuk, yaitu berupa bongkahan, chips dan serbuk.  Bentuk bongkahan dapat berupa patung atau bentuk unik (natural sculpture) atau tanpa bentuk sama sekali.  Demikian pula warnanya, bervariasi mulai dari mendekati putih sampai coklat tua atau mendekati kehitaman, tergantung kadar damar wangi yang dikandungnya dan dengan sendirinya akan semakin wangi atau kuat aroma yang yang ditimbulkannya.  Umumnya warna gaharu inilah yang dijadikan dasar dalam penentuan kualitas gaharu. Semakin hitam/pekat warnanya, semakin tinggi kandungan damar wanginya, dan akan semakin tinggi pula nilai jualnya.  Umumnya semakin hitam/pekat warna gaharu, menunjukkan semakin tinggi proses infeksinya, dan semakin kuat aroma yang ditimbulkannya.  Namun pedoman warna dan aroma ini tidaklah mutlak, karena dalam kenyataannya, warna ini dapat diakali dengan penerapan pewarna, sedangkan aroma dapat diakali dengan mencelupkan gaharu ke dalam destilat gaharu.  Sehingga hanya pedagang-pedagang yang sudah berpengalaman dan sudah lama berkecimpung dalam perdagangan gaharu sajalah yang dapat membedakan antara gaharu yang tinggi kualitasnya dengan yang lebih rendah kualitanya (kemedangan).
Di Indonesia, gaharu yang diperdagangkan secara nasional masih dalam bentuk bongkahan, chips ataupun serbuk gaharu.  Masyarakat belum tertarik untuk mengolah gaharu secara lebih lanjut, misalnya dalam bentuk produk olahan seperti destilat gaharu, parfum, chopstick, dan lain-lain, yang tentunya akan lebih meningkatkan nilai jualnya.
Gaharu dihasilkan oleh pohon-pohon terinfeksi yang tumbuh di daerah tropika dan memiliki marga Aquilaria, Gyrinops dan Gonystilus yang keseluruhannya termasuk dalam famili Thymelaeaceae.  Marga Aquilaria terdiri dari 15 spesies, tersebar di daerah tropis Asia mulai dari India, Pakistan, Myanmar, Lao PDR, Thailand, Kamboja, China Selatan, Malaysia, Philipina dan Indonesia.  Enam diantaranya ditemukan di Indonesia (A. malaccensis, A. microcarpa, A. hirta, A. beccariana, A. cumingiana dan A. filarial).  Keenam jenis tersebut terdapat hampir di seluruh kepulauan Indonesia, kecuali Jawa, Bali dan Nusa Tenggara.  Marga Gonystilusmemiliki 20 spesies, tersebar di Asia Tenggara mulai dari Malaysia, Peninsula, Serawak, Sabah, Indonesia, Papua New Guinea, Philipina dan kepulauan Solomon serta kepulauan Nicobar. Sembilan spisies diantaranya terdapat di Indonesia yaitu: di Sumatera, Kalimantan, Bali, Maluku dan Irian Jaya. Marga Gyrinops memiliki tujuh spesies.  Enam diantaranya tersebar di Indonesia bagian timur serta satu spesies terdapat di Srilanka.
Penyebab timbulnya infeksi (yang menghasilkan gaharu) pada pohon penghasil gaharu, hingga saat ini masih terus diamati.  Namun, para peneliti menduga bahwa ada 3 elemen penyebab proses infeksi pada pohon penghasil gaharu, yaitu (1) infeksi karena fungi, (2) perlukaan dan (3) proses non-phatology.  Dalam grup yang pertama, Santoso (1996) menyatakan telah berhasil mengisolasi beberapa fungi dari pohon Aquilaria spp. yang terinfeksi yaitu: Fusarium oxyporus, F. bulbigenium dan F. laseritium.  Pada kasus 2 dan 3 muncul hipotesis yang menyatakan bahwa perlukaan pohon dapat mendorong munculnya proses penyembuhan yang menghasilkan gaharu. Tetapi hipotesis inipun masih memerlukan pembuktian.
Kualita Gaharu Indonesia secara nasional telah ditetapkan dalam SNI 01-5009.1-1999 Gaharu.  Dalam SNI tersebut kualita gaharu dibagi dalam 13 kelas kualitas yang terdiri dari :
·         Gubal gaharu yang terbagi dalam 3 kelas kualita (Mutu Utama = yang setara dengan mutu super; mutu Pertama = setara dengan mutu AB; dan mutu Kedua = setara dengan mutu Sabah super),
·         Kemedangan yang terbagi dalam 7 kelas kualita (mulai dari mutu Pertama = setara dengan mutu TGA/TK1 sampai dengan mutu Ketujuh = setara dengan mutu M3), dan
·         Abu gaharu yang terbagi dalam 3 kelas kualita (mutu Utama, Pertama dan Kedua).
Pada kenyataannya dalam perdagangan gaharu, pembagian kualitas gaharu tidak seragam antara daerah yang satu dengan yang lain, meskipun sudah ada SNI 01-5009.1-1999 Gaharu.  Sebagai contoh, di Kalimantan Barat disepakati 9 jenis mutu yaitu dari kualitas Super A (terbaik) sampai dengan mutu kemedangan kropos (terburuk).  Sedangkan di Kalimantan Timur dan Riau, para pebisnis gaharu menyepakati 8 jenis mutu, mulai dari mutu super A (terbaik) sampai dengan mutu kemedangan (terburuk).  Penetapan standar di lapangan yang tidak seragam tersebut dimungkingkan karena keberadaan SNI Gaharu sejauh ini belum banyak diketahui dan dimanfaatkan oleh para pedagang maupun pengumpul. Disamping itu, sebagaimana SNI-SNI hasil hutan lainnya,  penerapan SNI Gaharu masih bersifat sukarela (voluntary), dimana tidak ada kewajiban untuk memberlakukannya.
Pemanfaatan gaharu dari alam secara tradisional di Indonesia (Kalimantan dan Sumatera), akan menjamin kelestarian pohon induknya, yaitu hanya mengambil bagian pohon yang ada gaharunya saja tanpa harus menebang pohonnya.  Pemanenan Gaharu sebaiknya dari pohon-pohon penghasil gaharu yang mempunyai diameter di atas 20 cm.  Namun, sejalan dengan meningkatnya permintaan pasar dan nilai jual dari gaharu, masyarakat lokal telah mendapat pesaing dari pebisnis gaharu dari tempat lain, sehingga mereka berlomba-lomba untuk berburu gaharu.  Akibatnya, pemanfaatan gaharu secara tradisional yang mengacu pada prinsip kelestarian tidak dapat dipertahankan lagi.  Hal ini berdampak, semakin sedikitnya pohon-pohon induk gaharu.  Bahkan di beberapa tempat, gaharu telah dinyatakan jarang/hampir punah. Hal ini disebabkan oleh karena penduduk tidak lagi hanya menoreh bagian pohon yang ada gaharunya, tetapi langsung menebang pohonnya.  Diameter pohon yang ditebangpun menurun menjadi dibawah 20 cm, dan tentu saja kualita gaharu yang diperolehpun tidak dapat optimal.
Akibat semakin langkanya tegakan pohon penghasil gaharu, dalam COP (Conference of Parties) ke – 9 CITES (Convention on the International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna) di Fort Lauderdale, Florida, USA (7 – 18 Nopember 1994) para peserta konferensi atas usulan India menerima proposal pendaftaran salah satu spesies penghasil gaharu (A. malaccensis) dalam CITES Appendix II.  Dengan demikian dalam waktu 90 hari sejak penerimaan/penetapan proposal tersebut, perdagangan spesies tersebut harus dilakukan dengan prosedur CITES.
Namun masalahnya, hingga saat ini gaharu yang diperdagangkan dalam bentuk bongkahan, chips, serbuk, destilat gaharu serta produk akhir seperti chopstick, pensil, parfum, dan lain-lain tidak dapat/sulit untuk dapat dibuktikan apakah gaharu tersebut dihasilkan oleh jenis A. malaccensis ataukah dari spesies lain.   Untuk mengatasi masalah ini, akhirnya ditempuh kebijaksanaan bahwa baik negara pengekspor maupun penerima tetap menerapkan prosedur CITES terhadap setiap produk gaharu, terlepas apakah produk tersebut berasal dari spesies A. malaccensis ataukah bukan.  Hal ini dikarenakan sebagian besar populasi spesies penghasil gaharu di alam sudah berada pada posisi terancam punah.  Dengan demikian diharapkan populasi spesies penghasil gaharu dapat diselamatkan.
Penutup
Mempertimbangkan nilai jual Gaharu, patut diupayakan peningkatan peranan Gaharu sebagai komoditas andalan alternatif untuk penyumbang devisa dari sektor kehutanan selain dari produk hasil hutan kayu.  Untuk mendapatkan manfaat nilai tambah maksimal dalam memanfaatkan komoditas tersebut, perlu pembinaan kepada produsen di dalam negeri untuk mengolah gaharu secara lebih lanjut, misalnya dalam bentuk produk akhir (olahan) seperti destilat gaharu, parfum, chopstick, dan lain-lain dengan nilai jual yang lebih tinggi. Disamping itu, untuk mendorong keseragaman penetapan kualita di lapangan, keberadaan SNI gaharu perlu disosialisasikan di kalangan para produsen, pedagang, dan para konsumen. Lebih lanjut, untuk menjamin keberlanjutan pasokan gaharu, perlu upaya pembinaan agar masyarakat memanen gaharu dengan cara-cara yang mengindahkan kaidah-kaidah kelestarian.  Akhirnya, untuk menghindarkan kepunahan gaharu, maka aturan atau prosedur CITES dalam perdagangan komoditas gaharu harus dilaksanakan secara konsekwen di lapangan oleh para pihak yang berkepentingan.
Daftar Pustaka :
Anonym. SNI 01-5009.1-1999: Gaharu. Badan Standar-disasi Nasional (BSN).  1999
Soehartono, Tonny; Gaharu: Kegunaan dan Pemanfaatan.  Disampaikan pada Lokakarya Tanaman Gaharu di Mataram tanggal 4 – 5 September 2001
Rohadi, Dede dan Suwardi Sumadiwangsa, Prospek dan Tantangan Pengembangan Gaharu di Indonesia: Suatu Tinjauan dari Perspektif Penelitian dan Pengembangan, Disampaikan pada Lokakarya Pengembangan Tanaman Gaharu di Mataram, 4 – 5 September 2001.