RESUME AGRIBISNIS
TANAMAN GAHARU
NAMA : RIZKI KHADIJAH
HARAHAP
NIM : 111201016
HUT : 4-A
Gaharu adalah sejenis kayu dengan berbagai bentuk dan warna yang
khas, memiliki kandungan damar wangi, berasal dari pohon atau bagian pohon
penghasil gaharu, sebagai akibat dari proses infeksi yang terjadi secara alami
atau buatan pada pohon Aguilaria sp (Thymelaeaceae).
GAHARU merupakan Komoditi Elit, Langka & Bernilai Ekonomi
Tinggi
Gaharu merupakan produk ekspor. Tujuan ekspor adalah negara-negara di Uni Emirat
Arab, Arab Saudi, Singapore, Taiwan, Jepang, Malaysia.
Pohon Gaharu (Aquilaria spp.) adalah species asli Indonesia.
Beberapa species gaharu komersial yang sudah mulai dibudidayakan adalah:
Aquilaria. malaccensis, A. microcarpa, A. beccariana, A. hirta, A. filaria, dan
Gyrinops verstegii. serta A. crassna asal Camboja.
Gaharu merupakan kebutuhan pokok bagi masyarakat di negara-negara
Timur Tengah yang digunakan sebagai dupa untuk ritual keagamaan. Masyarakat di
Asia Timur juga menggunakannya sebagai hio. Minyak gaharu merupakan bahan baku
yang sangat mahal dan terkenal untuk industri kosmetika seperti parfum, sabun,
lotions, pembersih muka serta obat-obatan seperti obat hepatitis, liver,
antialergi, obat batuk, penenang sakit perut, rhematik, malaria, asma, TBC,
kanker, tonikum, dan aroma terapi.
Pengelompokan
gaharu:
1) Abu gaharu: Super, kemedangan A, Kacang, kemedangan TGC;
2) Kemedangan A, B, C, TGC , (BC), Kemedangan Putih,Teri Kacang (terapung); dan
3) Gubal gaharu tdr dari: Double Super, Super A, Super B, Kacang, Teri A, Teri
B, dan dan Sabah (tenggelam).
Gaharu memiliki nilai harga mulai dari 100.000 – 30 juta/kg
tergantung asal species pohon dan kualitas gaharu.
Sedangkan minyak gaharu umumnya disuling dari gaharu kelas rendah
(kemedangan) memiliki harga mulai dari 50.000-100.000/ml.
Sebanyak 2000 ton/tahun gaharu memenuhi pusat perdagangan gaharu di Singapura.
Gaharu tersebut 70% berasal dari Indonesia dan 30% dari negara-negara Asia
Tenggara lainnya. Hutan alam sudah tidak mampu lagi menyediakan gaharu. Gaharu
hasil budidaya merupakan alternatif pilihan untuk mendukung kebutuhan
masyarakat dunia secara berkelanjutan.
Jika satu pohon gaharu hasil budidaya menghasilkan 10 kg gaharu (semua kelas),
maka diperlukan pemanenan 200.000 pohon setiap tahun.
Karena banyaknya jenis tumbuhan ini ada di Indonesia, maka bukan
barang aneh, bila kemudian tumbuhan ini juga banyak dimanfaatkan masyarakat.
Manfaatn gaharu antara lain sebagai bahan pembuat obat dan parfum.
Gaharu sangat di butuhkan di Negara Islam dan Arab, Wangi Parfum ,
Wanginya Tahan Lama, Aroma Terapi Menyegarkan Tubuh, Perayaan dan Undangan,
Kecantikan – Sabun, Shampo Yang Harum Semerbak, Obat & Kesehatan – Biasa
Digunakan di Pengobatan Tradisional Khususnya Dinegara China dan Jepang, Koleksi
Pribadi – Untuk Ruangan Besar Khusus Eksklusif. Harga 1 Batang Pohon Agarwood
bisa mencapai ribu-an dollar per kilo nya. Setelah Penyulingan Menjadi Minyak
Harga Bisa Mencapai Sekitar USD 5,000 ~ USD 10,000/kg dan Setelah Dibuat
Menjadi Cairan Extract Harganya Mampu Mencapai Lebih Dari USD 30,000 atau Rp.
300.000.000,- / Liter.
Manfaat gaharu:
1.
Aktivitas Kebudayaan –
Islam, Budha, Hindu
2.
Perayaan Keagamaan –
Kebanyakan di Negara Islam dan Arab
3.
Wangi Parfum – Wanginya
Tahan Lama Banyak Diminati di Negara Eropa Seperti Daerah Yves Saint Laurent,
Zeenat dan Amourage
4.
Aroma Terapi – Menyegarkan
Tubuh, Perayaan dan Undangan
5.
Obat & Kesehatan –
Biasa Digunakan di Pengobatan Tradisional Khususnya Dinegara China dan Jepang
6.
Koleksi Pribadi – Untuk
Ruangan Besar Khusus Eksklusif
7.
Kecantikan – Sabun, Shampo
Yang Harum Semerbak
Gaharu dikenal berasal dari marga tumbuhan bernama Aquilaria. Di Indonesia
tumbuh berbagai macam spesiesnya, seperti A. malaccensis, A. microcarpa, A.
hirta, A. beccariana, dan A. Filaria.
Karena banyaknya jenis tumbuhan ini ada di Indonesia, maka bukan barang aneh,
bila kemudian tumbuhan ini juga banyak dimanfaatkan masyarakat. Salah satu manfaatnya
merupakan fungsi flora ini sebagai obat.
Meningkatnya penggunaan obat-obatan dari bahan organik seperti tumbuhan
(herbal), membuat gaharu semakin diminati sebagai bahan baku obat-obatan untuk
berbagai macam penyakit.
Dari hasil penelitian yang ada, gaharu dikenal mampu mengobati penyakit seperti
stres, asma, liver, ginjal, radang lambung, radang usus, rhematik, tumor dan
kanker.
Kini pengunaan gaharu sebagai obat terus meningkat. Tapi sayangnya hingga kini,
Indonesia baru mampu memasok 15 persen total kebutuhan gaharu dunia.
Bahkan kini fungsi gaharu juga merambah untuk bahan berbagai produk kecantikan
dan perawatan tubuh. Sebagai kosmetik gaharu bisa dijual seharga Rp 2-5 juta
per kilogram, bahkan untuk jenis super dan dobel super harganya mencapai Rp18
juta per kilogram. Di Indonesia tanaman ini dikelompokan sebagai produk
komoditi hasil hutan bukan kayu.
Atas dasar itu, pengembangan gaharu sangat mendukung program pelestarian hutan
yang digalakkan pemerintah. Investasi dibidang gaharu sendiri sebenarnya sangat
menguntungkan. Gaharu bisa dipanen pada usia 5-7 tahun.
Salah satu hasil olahan dari daun pohon Gaharu
yang banyak sekali khasiat dan kegunaannya
Untuk satu hektare gaharu hingga bisa dipanen, memerlukan biaya
sebesar Rp 125 juta namun hasil panen yang didapat mencapai puluhan kali lipat.
Budi daya gaharu sangat cocok dikembangkan dalam meningkatkan hasil hutan non
kayu, sementara pasarnya sangat luas dan tidak terbatas. (ant/slg)
(sumber:sinar harapan).
Imam Bukhari meriwayatkan
bahawa Nabi Mohammad SAW bersabda: Obatilah dengan menggunakan Oudh (gaharu)
kerana didalamnya terdapat tujuh kebaikan.
Minyak gaharu juga memang terkenal sebagai antara ekstrak minyak
paling mahal didunia hingga mencapai $20,000 dolar Amerika satu kilogram.
Kegunaan perobatan maupun upacara kebesaran dalam Ayurvedik, Sufi, Cina, Tibet,
Arab dan Yunani banyak menggunakan bahan daripada gaharu untuk tujuan yang
sama.
·
Meningkatkan fungsi seksual
dan merawat masalah yang berkaitan
·
Melegakan dan merawat
sistem pernafasan – bagi penderita lelah, letih dan batuk dan kronik
·
Merawat kanker tumor dan
kanker paru-paru
·
Melegakan insomnia (susah
tidur) dan tidur yang kurang pulas
·
Mengontrol kandungan gula
dalam darah bagi penderita diabetes
·
Merawat sistem limfa –
sistem pertahanan badan
·
Mengawal dan menstabilkan
tekanan darah tinggi
·
Mengurangi masalah
sembelit, angin, cirit-birit dan IBS (perut sensitif)
·
Merawat masalah Ginjal
·
Tonik untuk menguatkan
fungsi jantung
·
Merawat penyakit hati
GAHARU: HHBK yang
Menjadi Primadona
Gaharu merupakan salah satu komoditi hasil hutan bukan kayu (HHBK)
yang cukup dapat diandalkan, khususnya apabila ditinjau dari harganya yang
sangat istimewa bila dibandingkan dengan HHBK lainnya. Nilai jual
yang tinggi dari gaharu ini mendorong masyarakat untuk
memanfaatkannya. Sebagai contoh, pada awal tahun 2001, di Kalimantan
Timur tepatnya di Pujangan (Kayan) harga gaharu dapat mencapai Rp. 600.000,-
per kilogram . Pada tingkat eceran di kota-kota besar harga ini
tentunya akan semakin tinggi pula. Kontribusi gaharu terhadap
perolehan devisa juga menunjukkan grafik yang terus meningkat. Menurut Balai
Pusat Statistik, rata-rata nilai ekspor gaharu dari Indonesia tahun 1990-1998
adalah sebesar US $ 2 juta, dan pada tahun 2000 meningkat menjadi US $ 2.2
juta.
Gaharu dikenal karena memiliki aroma yang khas dan dapat digunakan
untuk berbagai keperluan seperti parfum, pewangi ruangan, hio (pelengkap
sembahyang pemeluk agama Budha & Kong Hu Cu), obat, dan sebagainya.
Masyarakat awam seringkali mengaburkan istilah gaharu dengan pohon
gaharu. Menurut SNI 01-5009.1-1999 gaharu didefinisikan sebagai
sejenis kayu dengan berbagai bentuk dan warna yang khas, serta memiliki
kandungan kadar damar wangi yang berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil
gaharu yang tumbuh secara alami dan telah mati sebagai akibat dari suatu proses
infeksi yang terjadi baik secara alami atau buatan pada suatu jenis pohon, yang
pada umumnya terjadi pada pohon Aquilaria sp. (Nama daerah: Karas, Alim, Garu dan lain-lain).
Gaharu diperdagangkan dalam berbagai bentuk, yaitu berupa
bongkahan, chips dan serbuk. Bentuk bongkahan dapat berupa patung
atau bentuk unik (natural
sculpture) atau tanpa bentuk sama
sekali. Demikian pula warnanya, bervariasi mulai dari mendekati
putih sampai coklat tua atau mendekati kehitaman, tergantung kadar damar wangi
yang dikandungnya dan dengan sendirinya akan semakin wangi atau kuat aroma yang
yang ditimbulkannya. Umumnya warna gaharu inilah yang dijadikan
dasar dalam penentuan kualitas gaharu. Semakin hitam/pekat warnanya, semakin
tinggi kandungan damar wanginya, dan akan semakin tinggi pula nilai
jualnya. Umumnya semakin hitam/pekat warna gaharu, menunjukkan
semakin tinggi proses infeksinya, dan semakin kuat aroma yang ditimbulkannya. Namun
pedoman warna dan aroma ini tidaklah mutlak, karena dalam kenyataannya, warna
ini dapat diakali dengan penerapan pewarna, sedangkan aroma dapat diakali
dengan mencelupkan gaharu ke dalam destilat gaharu. Sehingga hanya
pedagang-pedagang yang sudah berpengalaman dan sudah lama berkecimpung dalam
perdagangan gaharu sajalah yang dapat membedakan antara gaharu yang tinggi
kualitasnya dengan yang lebih rendah kualitanya (kemedangan).
Di Indonesia, gaharu yang diperdagangkan secara nasional masih
dalam bentuk bongkahan, chips ataupun serbuk gaharu. Masyarakat
belum tertarik untuk mengolah gaharu secara lebih lanjut, misalnya dalam bentuk
produk olahan seperti destilat gaharu, parfum, chopstick, dan lain-lain, yang
tentunya akan lebih meningkatkan nilai jualnya.
Gaharu dihasilkan oleh pohon-pohon terinfeksi yang tumbuh di
daerah tropika dan memiliki marga Aquilaria, Gyrinops dan Gonystilus yang keseluruhannya termasuk dalam famili Thymelaeaceae. Marga Aquilaria terdiri dari 15 spesies, tersebar di daerah tropis Asia mulai dari
India, Pakistan, Myanmar, Lao PDR, Thailand, Kamboja, China Selatan, Malaysia,
Philipina dan Indonesia. Enam diantaranya ditemukan di Indonesia (A. malaccensis, A.
microcarpa, A. hirta, A. beccariana, A. cumingiana dan A. filarial). Keenam jenis tersebut terdapat hampir di seluruh
kepulauan Indonesia, kecuali Jawa, Bali dan Nusa
Tenggara. Marga Gonystilusmemiliki 20 spesies,
tersebar di Asia Tenggara mulai dari Malaysia, Peninsula, Serawak, Sabah,
Indonesia, Papua New Guinea, Philipina dan kepulauan Solomon serta kepulauan
Nicobar. Sembilan spisies diantaranya terdapat di Indonesia yaitu: di
Sumatera, Kalimantan, Bali, Maluku dan Irian Jaya. Marga Gyrinops memiliki tujuh spesies. Enam diantaranya tersebar di
Indonesia bagian timur serta satu spesies terdapat di Srilanka.
Penyebab timbulnya infeksi (yang menghasilkan gaharu) pada pohon
penghasil gaharu, hingga saat ini masih terus diamati. Namun, para
peneliti menduga bahwa ada 3 elemen penyebab proses infeksi pada pohon
penghasil gaharu, yaitu (1) infeksi karena fungi, (2) perlukaan dan (3) proses
non-phatology. Dalam grup yang pertama, Santoso (1996) menyatakan
telah berhasil mengisolasi beberapa fungi dari pohon Aquilaria spp. yang terinfeksi yaitu: Fusarium oxyporus, F. bulbigenium dan F. laseritium. Pada kasus 2 dan 3 muncul hipotesis yang menyatakan
bahwa perlukaan pohon dapat mendorong munculnya proses penyembuhan yang
menghasilkan gaharu. Tetapi hipotesis inipun masih memerlukan pembuktian.
Kualita Gaharu Indonesia secara nasional telah ditetapkan dalam
SNI 01-5009.1-1999 Gaharu. Dalam SNI tersebut kualita gaharu dibagi
dalam 13 kelas kualitas yang terdiri dari :
·
Gubal gaharu yang terbagi
dalam 3 kelas kualita (Mutu Utama = yang setara dengan mutu super; mutu Pertama
= setara dengan mutu AB; dan mutu Kedua = setara dengan mutu Sabah super),
·
Kemedangan yang terbagi
dalam 7 kelas kualita (mulai dari mutu Pertama = setara dengan mutu TGA/TK1
sampai dengan mutu Ketujuh = setara dengan mutu M3), dan
·
Abu gaharu yang terbagi
dalam 3 kelas kualita (mutu Utama, Pertama dan Kedua).
Pada kenyataannya dalam perdagangan gaharu, pembagian kualitas
gaharu tidak seragam antara daerah yang satu dengan yang lain, meskipun sudah
ada SNI 01-5009.1-1999 Gaharu. Sebagai contoh, di Kalimantan Barat
disepakati 9 jenis mutu yaitu dari kualitas Super A (terbaik) sampai dengan
mutu kemedangan kropos (terburuk). Sedangkan di Kalimantan Timur dan
Riau, para pebisnis gaharu menyepakati 8 jenis mutu, mulai dari mutu super A
(terbaik) sampai dengan mutu kemedangan (terburuk). Penetapan
standar di lapangan yang tidak seragam tersebut dimungkingkan karena keberadaan
SNI Gaharu sejauh ini belum banyak diketahui dan dimanfaatkan oleh para
pedagang maupun pengumpul. Disamping itu, sebagaimana SNI-SNI hasil hutan
lainnya, penerapan SNI Gaharu masih bersifat sukarela (voluntary), dimana tidak ada kewajiban untuk memberlakukannya.
Pemanfaatan gaharu dari alam secara tradisional di Indonesia
(Kalimantan dan Sumatera), akan menjamin kelestarian pohon induknya, yaitu
hanya mengambil bagian pohon yang ada gaharunya saja tanpa harus menebang
pohonnya. Pemanenan Gaharu sebaiknya dari pohon-pohon penghasil
gaharu yang mempunyai diameter di atas 20 cm. Namun, sejalan dengan
meningkatnya permintaan pasar dan nilai jual dari gaharu, masyarakat lokal
telah mendapat pesaing dari pebisnis gaharu dari tempat lain, sehingga mereka
berlomba-lomba untuk berburu gaharu. Akibatnya, pemanfaatan gaharu
secara tradisional yang mengacu pada prinsip kelestarian tidak dapat dipertahankan
lagi. Hal ini berdampak, semakin sedikitnya pohon-pohon induk
gaharu. Bahkan di beberapa tempat, gaharu telah dinyatakan
jarang/hampir punah. Hal ini disebabkan oleh karena penduduk tidak lagi
hanya menoreh bagian pohon yang ada gaharunya, tetapi langsung menebang
pohonnya. Diameter pohon yang ditebangpun menurun menjadi dibawah 20
cm, dan tentu saja kualita gaharu yang diperolehpun tidak dapat optimal.
Akibat semakin langkanya tegakan pohon penghasil gaharu, dalam COP
(Conference of Parties) ke – 9 CITES (Convention on the International Trade in Endangered Species of
Wild Flora and Fauna) di Fort Lauderdale,
Florida, USA (7 – 18 Nopember 1994) para peserta konferensi atas usulan India
menerima proposal pendaftaran salah satu spesies penghasil gaharu (A. malaccensis) dalam CITES Appendix II. Dengan demikian dalam waktu
90 hari sejak penerimaan/penetapan proposal tersebut, perdagangan spesies
tersebut harus dilakukan dengan prosedur CITES.
Namun masalahnya, hingga saat ini gaharu yang diperdagangkan dalam
bentuk bongkahan, chips, serbuk, destilat gaharu serta produk akhir seperti
chopstick, pensil, parfum, dan lain-lain tidak dapat/sulit untuk dapat
dibuktikan apakah gaharu tersebut dihasilkan oleh jenis A. malaccensis ataukah dari spesies lain. Untuk mengatasi masalah
ini, akhirnya ditempuh kebijaksanaan bahwa baik negara pengekspor maupun
penerima tetap menerapkan prosedur CITES terhadap setiap produk gaharu,
terlepas apakah produk tersebut berasal dari spesies A. malaccensis ataukah bukan. Hal ini dikarenakan sebagian besar
populasi spesies penghasil gaharu di alam sudah berada pada posisi terancam
punah. Dengan demikian diharapkan populasi spesies penghasil gaharu
dapat diselamatkan.
Penutup
Mempertimbangkan nilai jual Gaharu, patut diupayakan peningkatan
peranan Gaharu sebagai komoditas andalan alternatif untuk penyumbang devisa
dari sektor kehutanan selain dari produk hasil hutan kayu. Untuk
mendapatkan manfaat nilai tambah maksimal dalam memanfaatkan komoditas
tersebut, perlu pembinaan kepada produsen di dalam negeri untuk mengolah
gaharu secara lebih lanjut, misalnya dalam bentuk produk akhir (olahan) seperti
destilat gaharu, parfum, chopstick, dan lain-lain dengan nilai jual yang lebih
tinggi. Disamping itu, untuk mendorong keseragaman penetapan kualita di
lapangan, keberadaan SNI gaharu perlu disosialisasikan di kalangan para
produsen, pedagang, dan para konsumen. Lebih lanjut, untuk menjamin
keberlanjutan pasokan gaharu, perlu upaya pembinaan agar masyarakat memanen
gaharu dengan cara-cara yang mengindahkan kaidah-kaidah
kelestarian. Akhirnya, untuk menghindarkan kepunahan gaharu, maka
aturan atau prosedur CITES dalam perdagangan komoditas gaharu harus
dilaksanakan secara konsekwen di lapangan oleh para pihak yang berkepentingan.
Daftar Pustaka :
Anonym. SNI 01-5009.1-1999: Gaharu. Badan Standar-disasi Nasional
(BSN). 1999
Soehartono, Tonny; Gaharu: Kegunaan dan
Pemanfaatan. Disampaikan pada Lokakarya Tanaman Gaharu di Mataram
tanggal 4 – 5 September 2001
Rohadi, Dede dan Suwardi Sumadiwangsa, Prospek dan Tantangan
Pengembangan Gaharu di Indonesia: Suatu Tinjauan dari Perspektif Penelitian dan
Pengembangan, Disampaikan pada Lokakarya Pengembangan Tanaman Gaharu di
Mataram, 4 – 5 September 2001.