Sabtu, 20 April 2013

Analisis Agribisnis Kakao (Theobrema cacao)

Nama               : Fatmala Salmah
N I M              : 111201001
Kelas               : HUT 4A

PENDAHULUAN
Latar Belakang
            Tanaman Kakao merupakan tanaman perkebunaan berprospek menjanjikan. Tetapi jika faktor tanah yang semakin keras dan miskin unsur hara terutama unsur hara mikro dan hormon alami, faktor iklim dan cuaca, faktor hama dan penyakit tanaman, serta faktor pemeliharaan lainnya tidak diperhatikan maka tingkat produksi dan kualitas akan rendah.
Kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan utama yang diandalkan di Provinsi Bali. Perkembangan kakao cukup pesat, dimana menurut data Bali Membangun 2004, luas areal penanaman kakao pada tahun 2000 mencapai 6.564 ha dengan produksi 4.424.367 ton dan berkembang menjadi 8.764 ha pada tahun 2004 dengan produksi mencapai 6.123.869 ton (Anonimb, 2004). Hampir keseluruhan areal perkebunan kakao adalah perkebunan rakyat. Areal penanaman kakao di Provinsi Bali, terutama berada di Kabupaten Jembrana dan Tabanan.
Namun, perkembangan produksi kakao di Indonesia, termasuk di Provinsi Bali seringkali tidak diikuti dengan perbaikan mutu biji kakao. Biji kakao dari perkebunan rakyat cenderung masih bermutu rendah. Rendahnya mutu biji kakao, terutama disebabkan oleh cara pengolahan yang kurang baik, seperti biji kakao tidak difermentasi atau proses fermentasi yang kurang baik.
Fermentasi merupakan inti dari proses pengolahan biji kakao.  Proses ini tidak hanya bertujuan untuk membebaskan biji kakao dari pulp dan mematikan biji, namun terutama juga untuk memperbaiki dan membentuk citarasa cokelat yang enak dan menyenangkan serta mengurangi rasa sepat dan pahit pada biji.  Fermentasi dapat dilakukan dengan beberapa metode, seperti fermentasi tumpukan, fermentasi dalam keranjang, dan fermentasi dalam kotak.  Pemilihan metodenya tergantung pada kemudahan penerapan dan memperoleh wadah fermentasi, serta ketersediaan tenaga kerja.
Fermentasi yang sempurna menentukan citarasa biji kakao dan produk olahannya, termasuk juga karena buah yang masak dan sehat serta pengeringan yang baik. Fermentasi sempurna yang dimaksud adalah fermentasi selama 5 hari sesuai dengan penelitian Sime-Cadbury. Jika fermentasi yang dilakukan kurang atau tidak sempurna, selain citarasa khas cokelat tidak terbentuk, juga seringkali dihasilkan citarasa ikutan yang tidak dikehendaki, seperti rasa masam, pahit, kelat, sangit, dan rasa tanah.
Untuk meningkatkan nilai tambah kakao sekaligus meningkatkan pendapatan petani kakao di Bali, dilakukan beberapa strategi penelitian pasca panen. Tahap pertama adalah penelitian untuk menyiapkan sarana dan teknologi pengolahan produk primer secara kolektif (kelompok) sehingga dihasilkan peningkatan mutu biji kakao; dan tahap kedua adalah penelitian lanjutan untuk mengembangkan produk sekunder kakao sehingga dapat memberikan nilai tambah lebih besar bagi petani. Produk olahan dari biji kakao yang bisa dihasilkan antara lain pasta, lemak, dan bubuk cokelat. Produk ini banyak dimanfaatkan sebagai bahan baku pada industri makanan, farmasi, dan kosmetika.
Pasta cokelat atau cocoa mass atau cocoa paste dibuat dari biji kakao kering melalui beberapa tahapan proses sehingga biji kakao yang semula padat menjadi bentuk cair atau semicair. Pasta cokelat dapat diproses lebih lanjut menjadi lemak dan bubuk cokelat yang merupakan bahan baku pembuatan produk makanan dan minuman cokelat .


Tujuan
            Tujuan dari makalah yang berjudul “Analisis Agribisnis Kakao (Theobrema cacao)” ini adalah untuk mengetahui pengolahan sampai pemasaran kakao.








A.    Analisis Teknik Pengolahan Kakao
Fermentasi merupakan inti dari proses pengolahan biji kakao.  Proses ini tidak hanya bertujuan untuk membebaskan biji kakao dari pulp dan mematikan biji, namun terutama juga untuk memperbaiki dan membentuk citarasa cokelat yang enak dan menyenangkan serta mengurangi rasa sepat dan pahit pada biji.  Fermentasi dapat dilakukan dengan beberapa metode, seperti fermentasi tumpukan, fermentasi dalam keranjang, dan fermentasi dalam kotak.  Pemilihan metodenya tergantung pada kemudahan penerapan dan memperoleh wadah fermentasi, serta ketersediaan tenaga kerja.
Fermentasi yang sempurna menentukan citarasa biji kakao dan produk olahannya, termasuk juga karena buah yang masak dan sehat serta pengeringan yang baik. Fermentasi sempurna yang dimaksud adalah fermentasi selama 5 hari sesuai dengan penelitian Sime-Cadbury. Jika fermentasi yang dilakukan kurang atau tidak sempurna, selain citarasa khas cokelat tidak terbentuk, juga seringkali dihasilkan citarasa ikutan yang tidak dikehendaki, seperti rasa masam, pahit, kelat, sangit, dan rasa tanah.
Pasta cokelat atau cocoa mass atau cocoa paste dibuat dari biji kakao kering melalui beberapa tahapan proses sehingga biji kakao yang semula padat menjadi bentuk cair atau semicair. Pasta cokelat dapat diproses lebih lanjut menjadi lemak dan bubuk cokelat yang merupakan bahan baku pembuatan produk makanan dan minuman cokelat .
Lemak cokelat atau cocoa fat atau cocoa butter merupakan lemak nabati alami yang mempunyai sifat unik, yaitu tetap cair pada suhu di bawah titik bekunya. Lemak cokelat dikeluarkan dari pasta cokelat dengan cara dikempa atau dipres. Pasta kakao dimasukkan ke dalam alat kempa hidrolis yang memiliki dinding silinder yang diberi lubang-lubang sebagai penyaring. Cairan lemak akan keluar melewati lubang-lubang tersebut, sedangkan bungkil cokelat sebagai hasil sampingnya akan tertahan di dalam silinder.
Lemak cokelat mempunyai warna putih kekuningan dan berbau khas cokelat. Lemak cokelat mempunyai tingkat kekerasan yang berbeda pada suhu kamar, tergantung asal dan tempat tumbuh tanamannya. Lemak cokelat dari Indonesia, khususnya Sulawesi memiliki tingkat kekerasan lebih tinggi bila dibandingkan lemak cokelat dari Afrika Barat; dan sifat ini sangat disukai oleh pabrik makanan cokelat karena produk menjadi tidak mudah meleleh saat didistribusikan ke konsumen.
Bubuk cokelat atau cocoa powder diperoleh melalui proses penghalusan bungkil (cocoa cake) hasil pengempaan. Untuk memperoleh ukuran yang seragam, setelah penghalusan perlu dilakukan pengayakan. Bubuk cokelat relatif sulit dihaluskan dibandingkan bubuk/tepung dari biji-bijian lain karena adanya kandungan lemak. Lemak yang tersisa di dalam bubuk mudah meleleh akibat panas gesekan pada saat dihaluskan sehingga menyebabkan komponen alat penghalus bekerja tidak optimal. Pada suhu yang lebih rendah dari 34ºC, lemak menjadi tidak stabil menyebabkan bubuk menggumpal dan membentuk bongkahan (lump).
Proses fermentasi akan menghasilkan kakao dengan cita rasa setara dengan kakao yang berasal dari Ghana. Selain itu, kakao Indonesia memiliki kelebihan tidak mudah meleleh sehingga cocok untuk blending.
Fermentasi merupakan suatu proses produksi suatu produk dengan mikroba sebagai organisme pemroses. Fermentasi biji kakao merupakan fermentasi tradisional yang melibatkan mikroorganisme indigen dan aktivitas enzim endogen. Fermentasi biji kakao tidak memerlukan penambahan kultur starter (biang), karena pulp kakao yang mengandung banyak glukosa, fruktosa, sukrosa dan asam sitrat dapat mengundang pertumbuhan mikroorganisme sehingga terjadi fermentasi.
Tahapan pengolahan pasca panen kakao yaitu buah hasil panen dibelah dan biji berselimut pulp dikeluarkan, kemudian dikumpulkan pada suatu wadah. Jenis wadah yang digunakan dapat bervariasi, diantaranya drying platforms (Amerika), keranjang yang dilapisi oleh daun, dan kontainer kayu. Kontainer disimpan di atas tanah atau di atas saluran untuk menampung pulp juices yang dihasilkan selama fermentasi (hasil degradasi pulp). Pada umumnya, dasar kontainer memiliki lubang kecil untuk drainase dan aerasi. Kontainer tidak diisi secara penuh, disisakan 10 cm dari atas dan permukaan atas ditutupi dengan daun pisang yang bertujuan untuk menahan panas dan mencegah permukaan biji dari pengeringan. Fermentasi dalam kotak dapat dilakukan selama 2 – 6 hari, isi kotak dibalik tiap hari dengan memindahkannya ke kotak lain.
Fermentasi biji kakao akan menghasilkan prekursor cita rasa, mencokelat-hitamkan warna biji, mengurangi rasa-rasa pahit, asam, manis dan aroma bunga, meningkatkan aroma kakao (cokelat) dan kacang (nutty), dan mengeraskan kulit biji menjadi seperti tempurung. Biji yang tidak difermentasi tidak akan memiliki senyawa prekursor tersebut sehingga cita rasa dan mutu biji sangat rendah. Fermentasi pada biji kakao terjadi dalam dua tahap yaitu fermentasi anaerob dan fermentasi aerob. Keberadaan asam sitrat membuat lingkungan pulp menjadi asam sehingga akan menginisiasi pertumbuhan ragi dan terjadi fermentasi secara anaerob. Fermentasi aerob diinisiasi oleh bakteri asam laktat dan bakteri asam asetat. Produk fermentasi yang dihasilkan berupa etanol, asam laktat, dan asam asetat yang akan berdifusi ke dalam biji dan membuat biji tidak berkecambah.
Selama fermentasi terjadi pula aktivitas enzimatik, enzim yang terlibat adalah endoprotease, aminopeptidase, karboksipeptidase, invertase (kotiledon dan pulp), polifenol oksidase dan glikosidase. Enzim-enzim ini berperan dalam pembentukan prekursor cita rasa dan degradasi pigmen selama fermentasi. Prekursor cita rasa (asam amino, peptida dan gula pereduksi) membentuk komponen cita rasa di bawah reaksi Maillard (reaksi pencoklatan non-enzimatis) selama penyangraian.
Untuk menghentikan proses fermentasi, biji kakao kemudian dikeringkan. Pengeringan dilakukan sampai kadar air menjadi 7 – 8 % (setimbang dengan udara berkelembaban 75 %). Kadar air kurang dari 6 %, biji akan rapuh sehingga penanganan serta pengolahan lanjutnya menjadi lebih sulit. Kadar air lebih dari 9 % memungkinkan pelapukan biji oleh jamur. Pengeringan dengan pemanas simar surya dapat memakan waktu 14 hari, sedangkan dengan pengeringan non surya memakan waktu 2 – 3 hari.
Setelah pengeringan, biji disortir untuk membersihkan biji dan dilanjutkan dengan penyangraian pada suhu 210 C selama 10 – 15 menit. Tujuan dari penyangraian adalah untuk mensterilisasi biji serta pembentukan cita rasa dari prekursor cita rasa (hasil fermentasi) melalui reaksi Maillard.
Pada saat panen, petani coklat Indonesia memiliki kecenderungan untuk mengolah biji coklat tanpa fermentasi dengan cara merendam biji dalam air untuk membuang pulp dan dilanjutkan dengan penjemuran, dengan demikian biji siap dijual tanpa memerhatikan kualitas. Langkah tersebut diambil petani untuk mendapatkan hasil penjualan yang cepat karena jika melalui fermentasi diperlukan waktu inkubasi sehingga petani harus menunggu untuk mendapatkan keuntungan dari penjualan, sedangkan fermentasi merupkan kunci penting untuk memberikan cita rasa coklat. Dengan demikian, pengetahuan mengenai pentingnya fermentasi pada biji kakao perlu disebarluaskan pada petani coklat.
Produk yang melalui proses fermentasi sehingga diperoleh cita rasa coklat yang sesungguhnya dengan cost production yang relatif rendah. Fermentasi dapat dilakukan secara tradisional dan tidak memerlukan treatment khusus, hanya diperlukan wadah fermentasi dari kayu, ruang penyimpanan, lahan untuk menjemur, dan mesin penyangrai.


















B.   Peluang Pasar Ekspor Bisnis Kakao Indonesia dalam Perdagangan Internasional
Untuk meningkatkan nilai tambah kakao sekaligus meningkatkan pendapatan petani kakao di Bali, dilakukan beberapa strategi penelitian pasca panen. Tahap pertama adalah penelitian untuk menyiapkan sarana dan teknologi pengolahan produk primer secara kolektif (kelompok) sehingga dihasilkan peningkatan mutu biji kakao; dan tahap kedua adalah penelitian lanjutan untuk mengembangkan produk sekunder kakao sehingga dapat memberikan nilai tambah lebih besar bagi petani. Produk olahan dari biji kakao yang bisa dihasilkan antara lain pasta, lemak, dan bubuk cokelat. Produk ini banyak dimanfaatkan sebagai bahan baku pada industri makanan, farmasi, dan kosmetika.
Menurut Asosiasi Industri Kakao Indonesia, memperkirakan nilai ekspor kakao akan mencapai US$ 2 miliar pada 2012, tumbuh 11% dari proyeksi 2011 sebesar US$ 1,8 miliar. Pada 2010 nilai ekspor kakao tercatat US$ 1,6 miliar. produksi biji kakao Indonesia selama 2012 bisa mencapai sekitar 500.000 ton atau 50.000 ton lebih banyak dari tahun sebelumnya. Data International Cacao and Coffee Organization / ICCO bahwa kebutuhan kakao dunia meningkat sebesar 3,299 juta ton. Dan data pada saat ini produksi biji kakao hanya 3,288 juta ton. Di Indonesia kakao menjadi salah satu komoditi unggulan. Pada tahun 2006 produksi kakao Indonesia mencapai 435.000 ton, dan Indonesia termasuk sebagai penghasil kakao terbesar ketiga setelah Pantai Gading, Ghana di Afrika yang pangsa produksi sebesar 13,23% dari total kakao dunia. Berdasarkan angka ini bisa ditingkatkan hingga mencapai 600.000 ton pada tahun 2011.
Untuk wilayah Eropa sangat membutuhkan pasokan kakao yang sangat tinggi. Negara tujuan ekspor untuk kakao dan produk kakao ini terbesar untuk Uni Eropa adalah Jerman, Perancis, Belgia, Italia, Austria dan Spanyol.
Dan berdasarkan data pada tahun 2004 Indonesia mengekspor kakao ke Eropa berupa Cocoa Butter, Cocoa Paste, Biji Kakao dan Cocoa Powder. Untuk masuk wilayah Eropa yang perlu diperhatikan beberapa persyaratan standar mutu biji kakao. Untuk ekspor pemasaran kakao di Uni Eropa perlu memperhatikan mutu biji kakao, khususnya mutu citarasa, yang memerlukan syarat proses fermentasi yang benar. Jerman sebagai salah satu negara pengimpor kakao secara tegas mensyaratkan biji kakao harus difermentasi sebagai syarat dasar agar biji kakao memenuhi standar yang diinginkan, lingkungan, biji kakao yang harus difermentasi sebelum diekspor.
Hal ini sangatlah penting untuk menghindari masalah seperti Cacao Detention karena beberapa hal mutu yang standar yang tidak dipenuhi oleh pelaku usaha di Indonesia, dan beberapa hal yang harus juga diawasi adalah prosedur pengiriman / shipping procedure dimana dalam hal ini apabila melalui pengiriman melalui laut memakan waktu yang lama apabila untuk pangsa pasar Eropa, Amerika dan sebagainya. Kemasan dalam container harus benar-benar tahan baik dari packing dan proses dan prosedur penanganannya untuk export handling. Beberapa hal yang kita cermati akibat terkena automatic detention, harga biji kakao Indonesia di AS mengalami pemotongan harga. Potongan harga ini hanya sekitar US$ 4 per ton, yang dibebankan kepada importirnya. Namun, akibat adanya serangga ini timbul kekhawatiran penyebaran penyakit. Pemasaran kakao Indonesia secara internasional menghadapi kendala rendahnya mutu akibat biji kakao tidak difermentasi dengan benar. Potongan harga akibat mutu biji kakao yang rendah ini mencapai 10-25 % dari harga rata-rata kakao dunia dan lebih rendah 40% dibandingkan harga kakao bermutu baik asal Ghana. Nilai pemotongan harga ini mencapai US$ 50- 100 juta per tahun. Nilai potongan harga ini mungkin akan meningkat apabila dunia dalam kondisi over supply yang menyebabkan negara pengimpor lebih selektif terhadap biji kakao bermutu baik.
Memang mutu dan kualitas ekspor Indonesia agak lebih rendah dari negara lain, tetapi hal ini bisa lebih ditingkatkan lagi melalui procedure penanganan pasca panen Kakao sampai ke Channel Distribution sampai kepada consumer.
Dalam persaingan eksportir kakao Indonesia adalah Pantai Gading / Ivory Coast dengan pangsa pasar 41,54%, Ghana dengan pangsa pasar 19, 54%, Nigeria pangsa pasar 9, 20%, Swiss dengan pangsa pasar 7,27% dan Kamerun pangsa pasar 5,21%. Dengan demikian hal ini menjadi tantangan bagi kita untuk lebih mengutamakan mutu dan menghasilkan sesuatu yang baik demi meningkatkan pangsa ekspor kakao Indonesia.


DAFTAR PUSTAKA
Carl E Hansen, Margarita del Olmo and Christine Burri. 1998. Enzyme Activities
in Cocoa Beans During Fermentation. J Sci Food Agric: 77, 273È281.

Suryani, Dinie, Zulfebriansyah, 2007. Komoditas Kakao : Potret dan Peluang
Pembiayaan. Economic Review : 210 . Desember 2007.

Rahayu, E. 2007. Pemanenan dan Pengolahan Kakao Indonesia. Buletin Hasil
Hutan Vol 16 No. 1 : 123.

Wudodo, S. 2008. Peningkatan Teknik Pengolahan Kakao. Balai Penelitian
            Kehutanan. Jakarta.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar