RESUME AGRIBISNIS DALAM BIDANG
KEHUTANAN (Mendulang Untung dari Investasi di Pohon Jati )
SAHRONI LUBIS
111201007
HUT 4-A
Jati Putih (Gmelina arborea Roxb) adalah salah satu jenis
pohon dari famili Verbenaceae yang satu famili dengan Jati (Tectona grandis).
Pohon ini berasal dari negeri, Nepal, India, Pakistan, Bangladesh, Srilangka,
Myanmar, Thailand, laos, Kamboja, Vietnam dan Cina Selatan.
Beberapa
sifat fisik dan kimia kayu Jati Putih adalah warna kayu yang pucat dan
bervariasi dari kuning jerami sampai dengan putih krem dan dapat berubah
menjadi coklat merah, tidak ada perbedaan warna antara kayu teras dan gubal.
Kayu mudah digergaji dan diserut dengan hasil licin dan mengkilap, serat agak
berpadu bervariasi dari lurus sampai ikal, jumlah serat dalam kayu 64,2%
tekstur agak besar, kelas kuat III
Jati mas, jati super, jati
pusaka, jati unggul dan lain-lain nama, sebenarnya merupakan produk yang sama.
Jati (Tectona grandis) adalah tumbuhan penghasil kayu dengan kualitas terbaik
di dunia. Tumbuhan ini sebenarnya berasal dari India. Masuk ke Indonesia
diperkirakan pada zaman pra Hindu. Pada waktu itu, kapal-kapal dagang Hindu
sudah mulai masuk ke kepulauan Nusantara untuk mencari kayu cendana, gaharu,
kemenyan, pala, cengkeh, lada dan kelapa. Kapal-kapal yang terserang badai dan
patah tiang layarnya, setelah berlabuh di pesisir utara pulau Jawa segera
mencari kayu pengganti tiang yang patah. Tetapi tidak ada kayu yang kualitasnya
sama dengan tiang layar mereka. Sebab tiang layar kapal-kapal Hindu tadi
terbuat dari kayu jati. Sejak itulah diupayakan untuk mengintroduksi tanaman
jati ke pulau Jawa, agar perahu-perahu Hindu yang rusak tiang layarnya tidak
mengalami kesulitan untuk melakukan perbaikan. Pertama-tama, tanaman jati
dibudidayakan di kawasan Rembang dan Blora. Baru kemudian meluas ke
kawasan-kawasan lainnya. Ketika kerajaan-kerajaan Hindu mengalami masa
kejayaannya, budidaya tanaman jati ini tetap dilanjutkan. Tetapi dinasti yang
memerintah kerajaan Jawa berganti-ganti. Ibukotanya juga berpindah-pindah dari
Jawa Tengah ke Jawa Timur dan kembali ke Jawa Tengah lagi. Sejak itulah
komoditas jati tidak terurus hingga menjadi tumbuhan liar di hutan-hutan di
pulau Jawa.
Ketika bangsa Belanda dan
juga Inggris menguasai pulau Jawa, budidaya tanaman jati kembali dilakukan
secara serius. Penanaman jati menjadi monopoli pemerintah. Saat ini pengelola
hutan jati di pulau Jawa adalah PT. Perhutani. Sebuah BUMN yang mengelola hutan
di seluruh pulau Jawa, kecuali hutan di Ujung Kulon, gunung Halimun, Gede – Pangrango,
Kep. Seribu, Bromo – Tengger – Semeru, Meru Betiri, Alas Purwo dan Baluran yang
berstatus Taman Nasional. Usia panen tanaman jati berkisar antara 50 tahun
sampai 80 tahun. Hingga kayu jati yang dipanen PT. Perhutani sekarang-sekarang
ini, merupakan tanaman tahun 1920-an sampai tahun 1950-an. Berarti kayu jati
hasil panen sekarang ini, masih lebih banyak yang merupakan tanaman (warisan)
pemerintah kolonial Hindia Belanda daripada yang kita tanam sendiri. Mengingat
usianya yang sampai puluhan tahun, petani maupun investor kurang begitu
tertarik untuk menanam jati. Hingga ketika terbetik kabar tentang adanya
varietas tanaman jati yang sudah bisa dipanen sejak umut 10 tahun (penjarangan)
kemudian dipanen habis pada umur 15 tahun, masyarakat pun menyambutnya dengan
sangat antusias. Jati-jati genjah demikian disebut sebagai jati mas, jati
super, jati pusaka, jati unggul dan lain-lain.
Bayangan masyarakat awam
terhadap jati super adalah, pada umur 15 tahun diameter tanaman sudah bisa
menyamai jati biasa yang berumur 50 tahun sampai 80 tahun. Dugaan ini tentu
saja keliru. Diameter jati super umur 15 tahun, masih sama dengan diameter kayu
jati biasa pada umur yang sama, yakni hanya sekitar 15 cm. Dengan asumsi,
pertumbuhan diameter kayu jati, tiap tahunnya sebesar 1 cm. Sebenarnya, jati
biasa tanaman PT. Perhutani pun pada umur 10 tahun sudah mulai dipanen untuk
penjarangan tanaman. Hasilnya adalah kayu-kayu jati berdiameter 10 cm, yang
penampilan fisiknya jelek. Hingga sebenarnya, kelebihan jati super dan lain-lain
tersebut bukan pada umur panennya, melainkan pada jenis kayu yang
dihasilkannya. Kriteria utama kayu jati, adalah pada jenisnya, yakni vinir dan
hara. Vinir adalah kayu jati yang seratnya sangat halus hingga mudah sekali
disayat. Kayu jenis ini akan diserap oleh industri furniture kelas tinggi atau
untuk bahan pelapis. Sementara jenis hara akan diserap oleh industri furniture
biasa. Kayu jenis ini berserat kasar dan banyak mata bekas tumbuhnya cabang.
Kelebihan jati super adalah, kayu yang dihasilkannya merupakan jenis vinir yang
harganya lebih tinggi dari jati biasa yang lebih banyak menghasilkan kayu hara.
Baik jenis vinir maupun
hara, masih pula dibedakan menjadi beberapa katagori mutu. Mulai dari mutu
utama (terbaik), standar pertama, kedua dan seterusnya sampai dengan mutu
kelima. Masing-masing mutu tentu memiliki nilai harga yang berlainan.
Berikutnya, harga kayu jati juga akan ditentukan oleh diameter dan panjang
gelondongan. Harga kayu vinir mutu utama berdiameter 15 cm, pasti lebih murah
jika dibanding dengan kayu yang sama dengan diameter 30 cm atau 50 cm,
misalnya. Sebab kayu sisa yang terbuang pada 1 m3 kayu berdiameter 50 cm, lebih
sedikit dibanding 1 m3 kayu dengan kualitas sama yang diameternya 15 cm. Selain
faktor diameter, yang juga ikut menentukan harga kayu jati adalah panjang
gelondongan. Kayu dengan kualitas dan diameter sama namun dengan panjang
gelondongan berbeda, harganya pun akan berbeda pula. Jadi, meskipun lebih
banyak menghasilkan jenis vinir, harga gelondongan jati super yang dipanen pada
umur 15 tahun belum tentu lebih mahal jika dibanding dengan jenis hara yang
dipanen pada umur 60 tahun atau 80 tahun dengan diameter 50 cm dan 80 cm. Hal
demikian inilah yang selama ini tidak diketahui oleh para petani atau calon
investor kita.
Sebenarnya sejak awal abad
20, pemerintah kolonial Belanda sudah mengimpikan adanya klon tanaman jati yang
tidak menghasilkan cabang. Tumbuhnya lurus dengan serat kayu yang halus.
Klon-klon ini setelah diseleksi lalu diperbanyak secara vegetatif dengan
okulasi. Tetapi cara ini terlalu mahal untuk diterapkan pada jati. Keadaan baru
berubah ketika ditemukan teknologi perbanyakan vegetatif dengan kultur
jaringan. Dengan cara ini perbanyakan vegetatif bisa dilakukan dengan massal
dan biaya murah. Klon tanaman jati yang tidak menghasilkan cabang itulah yang
secara selektif diteliti dan diperbanyak oleh Balitbang Dep. Kehutanan dan
Perum Perhutani. Hasilnya tentu saja hanya diperuntukkan bagi kepentingan
intern Perum Perhutani. Dewasa ini PT. Perhutani telah memiliki sekitar 30 klon
jati unggul. Tetapi di Thailand dan Malaysia, upaya serupa dilakukan oleh pihak
swasta. Hasilnya dipromosikan ke masyarakat luas hingga sampai ke Indonesia.
Pihak swasta Indonesia pun menanggapinya dengan sangat antusias. Klon-klon jati
tanpa cabang dengan serat halus ini pun diperbanyak dengan kultur jaringan.
Harga bibit jati super seperti ini berkisar antara Rp 4.000,- sampai dengan Rp
20.000,- per tanaman dengan ketinggian sekitar 50 cm. Variasi harga yang sangat
tinggi ini disebabkan oleh banyak faktor. Terutama oleh perbedaan upah tenaga
kerja dan volume bibit yang dihasilkannya. Semakin banyak volume bibit yang
dihasilkan, harga satuannya akan semakin murah.
Karena kelebihan utama jati
unggul ini terletak pada kualitas kayunya, maka promosi mengenai pendeknya
jangka waktu panen sebenarnya sangat tidak relevan. Sebab ketuaan umur panen,
juga akan menghasilkan diameter kayu yang makin besar dan hal ini juga akan
berpengaruh pada tinggi rendahnya harga. Yang lebih pas dipromosikan pada jati
unggul ini adalah kualitas kayu yang akan dihasilkannya. Hingga usia panennya
boleh 15 tahun, 30 tahun, 50 tahun atau malahan 100 tahun. Semakin tua umur
tanaman, semakin tinggi harga kayu yang dihasilkannya, karena diameternya akan
terus bertambah. Pengertian ini penting dikemukakan karena variasi harga kayu
jati resmi (bukan kayu Sepanyol = Separo Nyolong) berkisar antara Rp
1.500.000,- yang terendah sampai Rp 8.000.000,- yang tertinggi per m3
gelondongan. Variasi harga ini selain ditentukan oleh jenis kayu dan
kualitasnya, juga oleh diameter gelondongannya. Informasi tentang jenis jati
unggul yang bisa dipanen pada usia 15 tahun sebenarnya sangat menyesatkan
karena diameter kayunya masih sekitar 15 cm. Nilai kayu dengan diameter
demikian, bagaimana pun juga, tetap lebih rendah jika dibandingkan dengan kayu
dengan kualitas yang lebih rendah, namun dengan diameter yang lebih besar.
Dengan harga bibit
rata-rata Rp 8.000,- per batang, dengan populasi tanaman per hektar 1.000 pohon
(jarak tanam 3 x 3 m), maka keperluan bibit untuk tiap hektar lahan Rp
8.000.000,-. Biaya olah tanah dan penanaman sekitar Rp 2.000.000,-. Hingga
modal penanaman jati unggul dengan jarak tanam rapat adalah Rp 10.000.000,- per
hektar. Dengan kapasitas kerja 1 orang untuk tiap 5 hektar lahan, dengan upah
harian Rp 10.000,- per hari; maka upah kontrol untuk tiap hektar lahan selama
15 tahun adalah Rp 18.000.000,-. Ditambah dengan biaya lain-lain seperti pupuk,
biaya tersebut bisa mencapai Rp 30.000.000,-. Hingga total beban investasi dan
amortisasi selama 15 tahun adalah Rp 40.000.000,-. Asumsi hasil kayu setelah 15
tahun sekitar 100 m3 dengan harga terendah Rp 1.500.000,- per m3, maka
pendapatan kotor per hektar lahan jati unggul setelah 15 tahun adalah Rp
150.000.000,-. Kalau harga kayu bisa mencapai Rp 3.000.000,- per m3 maka
pendapatan kotornya akan menjadi Rp 300.000.000,-. Pendapatan ini cukup menarik
untuk lahan-lahan marjinal yang memang tidak mungkin ditanami komoditas lain.
Tetapi untuk lahan-lahan subur pendapatan kotor Rp 30.000.000,- per 15 tahun
atau Rp 20.000.000,- per tahun masih belum begitu menarik. Sebab masih banyak
komoditas yang bisa mendatangkan pendapatan kotor beberapa kali lipat
dibandingkan dengan jati unggul. Komoditas buah-buahan pada umumnya mampu mendatangkan
pendapatan yang jauh lebih tinggi dibanding jati.
Kayu jati memiliki banyak
keunggulan dibanding dengan jenis-jenis kayu lainnya karena beberapa hal.
Pertama, kelas keawetannya yang tinggi. Keawetan jati, antara lain disebabkan
oleh adanya minyak asiri yang disebut teak oil dalam jaringan kayunya. Tingkat
kekuatan kayu ini juga tergolong tinggi. Kelas keawetan dan kekuatan jati hanya
tertandingi oleh sono keling, ebony, ulin dan beberapa kayu keras lainnya.
Tetapi, tingkat kekerasan jati hanya tergolong sedang. Namun justru tingkat
kekerasan yang sedang ini akan memudahkan proses pengerjaannya untuk bahan
bangunan maupun furniture. Selain kelas keawetan, kekuatan dan kekerasannya
yang baik, jati juga masih memiliki keunggulan pada keindahan serta kehalusan
tekstur seratnya. Selain warna kayunya yang coklat alami. Kebutuhan kayu jati
pada tahun-tahun mendatang akan semakin besar. Sebab kayu-kayu rimba tropis
akan semakin terbatas volumenya yang bisa dieksplorasi. Sementara kayu budidaya
lainnya seperti mahoni, pinus dan albisia, kelasnya masih berada di bawah jati.
Hingga permintaan kayu jati akan tetap lebih baik dibanding dengan kayu-kayu
tadi. Meskipun penanaman jati sudah meluas sampai ke Afrika, namun untuk saat
ini pulau Jawa masih merupakan sentra hutan jati utama di dunia.
Jati-jati unggul yang
sekarang ini digandrungi masyarakat, sebenarnya hanyalah salah satu alternatif
komoditas. Bukan merupakan komoditas hebat yang akan mendatangkan keuntungan
luar biasa. Asumsi masyarakat awam bahwa jati super ketika dipanen pada umur 15
tahun akan menghasilkan volume kayu sama dengan jati biasa pada umur 50 tahun
jelas perlu diluruskan. Dewasa ini masih banyak penjual bibit jati unggul yang
memasarkan produk mereka dengan harga Rp 15.000,- sampai Rp 20.000,- per
tanaman. Harga itu tentu terlalu tinggi sebab bibit pisang kultur jaringan bisa
diperoleh dengan harga di bawah Rp 5.000,- per tanaman. Mestinya, jati yang
penanganan aklimatisasinya tidak serumit pisang bisa berharga lebih murah
minimal sama dengan pisang. Dan kenyataannya, ada juga penangkar jati unggul
yang bisa melepas produk mereka dengan harga Rp 4.000,- per tanaman.
Tanaman jati merupakan
tanaman kehutanan yang pada umumnya tumbuh di daerah Jawa dan di sekitar Sumatera Utara. Meskipun penanaman jati
sudah meluas sampai ke Afrika untuk tingkat global, namun untuk saat ini pulau
Jawa masih merupakan sentra hutan jati utama di dunia. Pertumbuhan pohon ini
sangat baik terutama di daerah Jawa Barat karena curah hujan di Jawa Barat yang
begitu relatif rendah sehingga lebih bagus untuk pertumbuhan pohon jati. Hal
ini di buktikan dengan adanya bagunan-bangunan pada zaman pra hindu yang banyak
di bangun dari kayu jati. Tetapi dinasti yang memerintah kerajaan Jawa berganti-ganti.
Ibukotanya juga berpindah-pindah dari Jawa Tengah ke Jawa Timur dan kembali ke
Jawa Tengah lagi. Sejak itulah komoditas jati tidak terurus hingga menjadi
tumbuhan liar di hutan-hutan di pulau Jawa.
Kayu jati memiliki banyak kelebihan dibanding
dengan jenis-jenis kayu lainnya. Kelebihan tersebut disebabkan oleh beberapa
hal seperti kelas keawetan kayu jati yang tinggi. Keawetan jati, antara lain
disebabkan oleh adanya kandungan minyak atsiri yang ada dalam jaringan kayunya.
Oleh karena itu tingkat kekuatan kayu ini juga tergolong tinggi. Kelas keawetan
dan kekuatan jati hanya tertandingi oleh sono keling, ebony, ulin dan beberapa
kayu keras lainnya. Tetapi, tingkat kekerasan jati hanya tergolong sedang.
Namun justru tingkat kekerasan yang sedang ini akan memudahkan proses pengerjaannya
untuk bahan bangunan maupun furniture. Selain kelas keawetan, kekuatan dan
kekerasannya yang baik, jati juga masih memiliki keunggulan pada keindahan
serta kehalusan tekstur seratnya. Selain warna kayunya yang coklat alami.
Kebutuhan kayu jati pada tahun-tahun mendatang akan semakin besar. Sebab
kayu-kayu rimba tropis akan semakin terbatas volumenya yang bisa dieksplorasi.
Sementara kayu budidaya lainnya seperti mahoni, pinus dan albisia, kelasnya
masih berada di bawah jati. Hingga permintaan kayu jati akan tetap lebih baik
dibanding dengan kayu-kayu tadi.
Pengelolaan hutan jati banyak tanganai
perhutanai di daerah pulau jawa karna hasilnya yang sangat menguntungkan bagi
setiap masyarakat, walaupaun waktu panennya yang relative lama yaitu usia panen
tanaman jati berkisar antara 50 tahun sampai 80 tahun. Hingga kayu jati yang
dipanen, namun di balik itu Bayangan masyarakat awam terhadap jati super
adalah, pada umur 15 tahun diameter tanaman sudah bisa menyamai jati biasa yang
berumur 50 tahun sampai 80 tahun.
Harga olahan kayu jati di pasran sangat
bersaing di banding kayu-kayu kehutanan lainnya, seprti yang sudah dijalan kan
oleh PT. Perhutani yang ada di pulau
jawa dengan variasi harga Dengan harga bibit rata-rata Rp 8.000,- per batang,
dengan populasi tanaman per hektar 1.000 pohon (jarak tanam 3 x 3 m), maka
keperluan bibit untuk tiap hektar lahan Rp 8.000.000,-. Biaya olah tanah dan
penanaman sekitar Rp 2.000.000,-. Hingga modal penanaman jati unggul dengan
jarak tanam rapat adalah Rp 10.000.000,- per hektar. Dengan kapasitas kerja 1
orang untuk tiap 5 hektar lahan, dengan upah harian Rp 10.000,- per hari; maka
upah kontrol untuk tiap hektar lahan selama 15 tahun adalah Rp 18.000.000,-.
Ditambah dengan biaya lain-lain seperti pupuk, biaya tersebut bisa mencapai Rp
30.000.000,-. Hingga total beban investasi dan amortisasi selama 15 tahun
adalah Rp 40.000.000,-. Asumsi hasil kayu setelah 15 tahun sekitar 100 m3
dengan harga terendah Rp 1.500.000,- per m3, maka pendapatan kotor per hektar
lahan jati unggul setelah 15 tahun adalah Rp 150.000.000,-. Kalau harga kayu
bisa mencapai Rp 3.000.000,- per m3 maka pendapatan kotornya akan menjadi Rp
300.000.000,-. Pendapatan ini cukup menarik untuk lahan-lahan marjinal yang
memang tidak mungkin ditanami komoditas lain. Tetapi untuk lahan-lahan subur
pendapatan kotor Rp 30.000.000,- per 15 tahun atau Rp 20.000.000,- per tahun
masih belum begitu menarik.
Banyak olahan-olahan mebel yang dihasilkan
dari kayu jati yang sanagt di minati masyarakat local maupun masyarakat
internasional karna tekstur, warna, keawetan dan keindahan sifat makroskopis
dari hasil olahan kayu jati beberapa olahan yang dihasilkan dari kayu jati
misalnya meja, kursi, lemari, guci dll. Sehingga sangat banyak perajin kayu
local yang memanfaatkan kayu jati sebagai bahan baku untuk di olah menjadi
bahan olahan mebel.
DAFTAR PUSTAKA
http://harissetiana.blogspot.com/2012/09/agroforestry-sebagai-subsistem.html.[04 April
2013][19.30 wib]
Lauridsen, E.B. 1986. Seed leaflet No 6. June 1986. Gmelina arborea, Linn.
Danida Forest Seed Centre-
Humlebaek, Denmark.
Soerianegara, I. & R.H.M.J.
Lemmens (eds), 1994. Timber trees : Major Commercial Timbers. Plant resources of South - East
Asia No. 5 (1) PROSEA Foundation, Bogor.
Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar